Walaupun Undang-Undang BPJS sudah ditandatangani tak lantas membuat masyarakat bisa merasakan sistem jaminan sosial. Masih ada regulasi yang mesti disusun untuk melengkapinya.
Oleh : Romualdus San Udika
BERITA TERKAIT
Sistem jaminan sosial yang sudah digadang-gadang sejak tujuh tahun lalu akhirnya terbentuk juga. Melalui Undang-Undang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) yang diteken November 2011, pemerintah wajib mendirikan lembaga yang memberi jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan hadirnya aturan tersebut terbitlah harapan rakyat untuk mendapatkan asuransi atas semua kebutuhan pokok. Sebut saja perlindungan dari masalah finansial dan sosial dasar yang diakibatkan oleh penyakit, kecelakaan, kematian usia tua, dan berkurangnya penghasilan karena usia pensiunan atau cacat total.
Maklum saja, sejak Indonesia merdeka 66 tahun lalu, masyarakat kebanyakan tidak pernah menikmati jaminan sosial dari negara. Padahal tidak banyak masyarakat yang bisa menikmati asuransi karena tingginya harga ataupun rendahnya kesadaran dari sebagian masyarakat.
Berdasarkan data terkini, dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta jiwa, hanya 42 persen saja yang terlindungi jaminan kesehatan. Sisanya yang 58 persen atau lebih dari separuh penduduk, tidak dapat menikmati akses pemeliharaan kesehatan.
Sementara, dari 42 persen jumlah penduduk yang terlindungi jaminan kesehatan, hanya 21 persen saja yang mendapatkan akses kesehatan melalui jaminan sosial, 79 persen lainnya bersandar pada bantuan pemerintah dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan. Jaminan sosial itu diberikan oleh beberapa perusahaan negara yaitu PT Askes, PT Asabri, PT Jamsostek dan PT Taspen.
Bahkan berdasarkan tren jaminan kesehatan sepanjang 2005–2009 juga diketahui bahwa peningkatan kebutuhan akan jaminan kesehatan tidak sebanding dengan akses yang tersedia.
Kinerja sistem kesehatan Indonesia pun berada pada urutan ke-92, jauh lebih rendah dari kinerja system kesehatan negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke 49),Thailandi (urutan ke 47) dan Filipina yang berada pada urutan ke 60 (WHO, 2000).
Rendahnya kinerja sistem kesehatan kita sangat berkorelasi dengan rendahnya belanja kesehatan. Angkanya hanya naik dari 2,9 persen produk domestik bruto (PDB) di tahun 1999 menjadi 3,1 persen PDB di tahun 2003. Sementara di China belanja kesehatan naik dari 4,9 persen PDB di tahun 1999 menjadi 5,6 persen PDB di tahun 2003, dan di India turun sedikit dari 5,1 persen menjadi 4,8 persen PDB.
Yang menarik adalah, berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2006, pada periode tersebut, Pemerintah China membelanjakan antara 9,7 – 12,5 persen anggaran pemerintah untuk kesehatan dan Filipina menghabiskan 4,9 persen – 7,1 persen. Sementara pemerintah Indonesia hanya membelanjakan 3,8 persen – 5,1 persen anggaran pemerintah untuk kesehatan.
Rendahnya belanja kesehatan Indonesia bisa dibilang merupakan salah satu indikator rendahnya komitmen pemerintah dan lemahnya kebijakan sosial bidang kesehatan. Di sisi lain, sistem kesehatan Indonesia sangat tidak memihak kepada rakyat. Hal ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan tersebut di sediakan di rumah sakit milik pemerintah.
Sementara dari sisi ketenagakerjaan, berdasarkan data Jamsostek, selama lima tahun terakhir (2006-2010), tenaga kerja yang masih bekerja dan membayar iuran jaminan hari tua (tenaga kerja aktif) berjumlah dua kali lebih rendah (31,29 persen) dari pada jumlah tenaga kerja yang pernah bekerja, mengiur dan sekarang berhenti mengiur (tenaga kerja non aktif) sebesar 68,71 persen.
Oleh karena itu wajarlah jika keberadaan UU jaminan sosial membawa harapan baru buat rakyat banyak. Akan tetapi tampaknya rakyat masih harus menunggu lebih lama lagi sebelum hal itu benar-benar terwujud. Pasalnya, pemerintah baru akan menerapkan BPJS dengan diawali jaminan kesehatan pada 2014.
UU BPJS membagi dua ketentuan implementasi, yakni pertama BPJS Kesehatan dibentuk dan mulai operasional 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan dibentuk 1 Januari 2014 dan operasional paling lambat Juli 2015. BPJS tahap pertama adalah peleburan dari PT Askes menjadi sebuah lembaga nirlaba yang melayani jaminan kesehatan kepada masyarakat. Kemudian, BPJS tahap kedua adalah peleburan dari PT Jamsosestek, PT Taspen dan PT Asabri menjadi sebuah lembaga nirlaba yang melayani jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
“Antara hari ini sampai 2014 tentu banyak hal dalam menyiapkan regulasi,” ujar Kepala biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Isa Rahmatarwata suatu hari di bulan Desember lalu.
Tarif Premi Dasar
Regulasi terkait jaminan sosial, kata dia bukanlah suatu yang mudah disusun. Oleh sebab itu Isa berharap dalam penyusunan regulasi tersebut ada keterlibatan industri asuransi secara aktif. Ajakan pemerintah ini disambut baik oleh pelaku industri asuransi, mengingat pelaksanaan jaminan social melalui BPJS sangat membantu mereka dalam melakukan penetrasi asuransi ke level bawah.
“Kita pasti bekerja sama. Tidak ada persaingan dengan pemerintah terkait BPJS. Yang ada justru membantu kita. Karena selama ini kita sulit pasarkan produk ke kelas bawah, nah dengan asuransi wajib itu, biasanya setelah mengikuti Jamsostek, perusahaan atau pekerja secara pribadi juga akan mengambil produk asuransi lain dari kita seperti kesehatan, harta benda dan lainnya,” tukas Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor
Namun Hendrisman Rahim, Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menaruh perhatian pada tarif premi dasar yang nanti akan ditetapkan oleh pengelola BPJS kepada semua peserta. Baginya, jika tarif premi itu tinggi, habislah kemampuan orang untuk membayar polis asuransi komersial.
Maka itu dia berharap berapapun tarif premi yang akan ditetapkan untuk jaminan dasar BPJS, masyarakat masih memiliki kemampuan finansial membeli produk asuransi dari perusahaan asuransi jiwa komersial.
Selama ini asuransi komersial sulit menembus kelas bawah karena mahalnya biaya operasional yang bermuara pada tingkat premi yang tinggi. Dengan begitu, masyarakat menjadi sulit untuk membeli produk asuransi komersial. Namun dengan masuknya asuransi wajib dari BPJS, maka dari sisi jalur distribusi tentu sudah terbuka lebih lebar, sehingga memudahkan asuransi komersil untuk terjun ke kelas bawah. “Kalau jalur distribusinya murah dan premi dasarnya terjangkau, tentu kita juga memasarkan produk dengan harga yang terjangkau juga kepada masyarakat,” tukas Hendrisman.
Terlepas dari persoalan premi tersebut, bagi sejumlah kalangan, kelahiran UU BPJS adalah tonggak sejarah atau peradaban baru. Mengingat muncul dengan prinsip BPJS memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta, sebagaimana juga diatur dalam UU SJSN. UU BPJS juga serta-merta akan mengakhiri praktek pengumpulan laba perusahaan dari iuran rakyat yang dikumpulkan secara paksa melalui kepesertaan wajib jaminan sosial.
Di sisi lain, transformasi kelembagaan jaminan sosial membuka jalan bagi Indonesia untuk sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang telah menempatkan negara sebagai pelindung warganya melalui pembangunan jaminan sosial yang berkeadilan. Semoga saja. SP