Meski tahun ini aliran modal asing makin melimpah ke instrumen investasi portofolio dalam negeri, namun pemerintah belum akan menyerapnya melalui IPO perusahaan negara. Pemerintah masih trauma dengan kegagalan pelepasan saham BUMN tahun lalu.
Oleh : Lila Intana
BERITA TERKAIT
Apa yang terjadi di seberang dunia, kini bisa langsung memberi pengaruh pada negara-negara yang ada di sisi yang lain. Maka dari itu saat kondisi Eropa makin parah akibat krisis utang dan juga Amerika Serikat (AS) yang masih berjibaku dengan masalah ekonominya, belahan dunia yang lain tengah harap-harap cemas.
Bahkan diturunkannya rating utang AS satu tingkat menjadi “AA+” dari sebelumnya “AAA” oleh lembaga pemeringkat utang Standard&Poor’s (SP) akan menekan ekonomi negara Adidaya tersebut. Imbasnya aliran dana asing diperkirakan akan masuk ke negara emerging market, termasuk Indonesia.
Situasi tersebut tentu bisa menjadi blessing in disguise untuk kawasan lain yang masih bisa menawarkan keuntungan bagi investor, terutama negara-negara berkembang di Asia. Mengulang yang terjadi pasca krisis 2008 lalu yang mana aliran modal masuk ke Asia meningkat, hal serupa pun bisa terulang. Malahan diperkirakan aliran dana ke kawasan itu makin keras seperti yang diperkirakan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Di dalam kawasan di mana terdapat dua pertiga dari total 1,2 miliar penduduk miskin di dunia itu, menurut monitoring ADB, ada 11 negara berkembang yang bakal kebanjiran dana asing. Negara-negara tersebut yaitu China, Hong Kong, India, Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Taipei, Thailand, dan Vietnam.
Indonesia, yang merupakan salah satu penarik dana terbesar saat krisis 2008, tampaknya akan kembali menghadapi masalah yang sama. Pemerintah tetap kebingungan menghadapi aliran dana yang besar yang membawa risiko pembalikan dana yang besar pula. Akan tetapi otoritas tidak berani menerapkan kebijakan yang mampu menahan lebih lama dana yang sebagian besar berupa hot money itu.
Alhasil, kebijakan yang disiapkan “hanya” sekadar menyerap capital inflow lewat pasar modal dengan menawarkan saham perdana (initial public offering/ IPO) beberapa perusahaan negara. “Kita mendorong IPO (perusahaan negara) kepada publik, jadi publik itu bisa membeli dan memperkuat struktur daripada bursa kita. Semakin banyak yang IPO semakin baik,” kata Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa.
Meski demikian pemanfaatan kesempatan kali ini pemerintah tidak ingin gegabah lagi. Tahun lalu, saat melepas saham pertama dari dua badan usaha milik negara (BUMN), pemerintah mengaku prosesnya tidak mulus, kalau tidak mau disebut gagal.
Tahun lalu, derasnya aliran modal masuk dibarengi dengan situasi pasar saham global yang cenderung volitale. Situasi itu membuat pemerintah takut untuk memastikan waktu pelaksanaan yang tepat untuk melepas BUMN di lantai bursa. Padahal waktu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di level 3.700 malahan sempat menembus level 4.000.
Meski akhirnya melepas saham Garuda, namun di hari pertama listing, saham perusahaan penerbangan ini melorot dari harga perdana Rp750 ke Rp650 atau turun sekitar 17,3 persen. Dalam evaluasinya, pemerintah mengatakan yang salah dari IPO Garuda adalah waktu pelaksanaannya, saat market dalam kondisi buruk.
Nah, tentu pengelola BUMN tak mampu terperosok ke dalam lubang yang sama tahun ini. Itulah yang menyebabkan pemerintah tak mau terburu-buru melepas salah satu perusahaan menjadi perusahaan terbuka.
Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Usaha Logistik dan Infrastruktur Kementerian BUMN Sumaryanto Widayatin menyatakan pihaknya akan memberikan izin IPO kepada perusahaan yang benar-benar siap dan dapat meyakini saham yang dijualnya akan laku di lantai bursa.
Jika perusahaan BUMN dianggap tidak siap, lanjut Sumaryanto, pihaknya tidak ragu untuk membatalkan rencana IPO perusahaan itu dari pembahasan Komite Privatisasi. “Saya tidak mau dorong kalau nggak siap. Meskipun masuk ke komite privatisasi dibatalkan juga kan bisa. Tapi jangan sering begitu loh. Kalau sekarang potensinya tidak laku, kalau jadi polemik seperti Garuda, Krakatau Steel, dijual kemurahan, Garuda dijual kemahalan,” kata dia.
Maka dari itu, pemerintah, lewat Menko Perekonimian Hatta Rajasa, sudah memberikan sinyal yang jelas bahwa tahun ini hanya akan menjadi tahun persiapan IPO BUMN, yang akan dilaksanakan tahun depan. Ada sekitar lima sampai tujuh perusahaan pelat merah yang akan melantai tahun depan. “Ya mungkin 5, ya kita 7 itu targetlah,” ujar Hatta.
KAJIAN SERIUS
Kekhawatiran atau bisa jadi keraguan pemerintah itu bisa dimengerti karena didorong oleh trauma kegagalan aksi korporasi tahun lalu. Namun begitu, menurut beberapa pelaku, kondisi pasar yang buruk atau baik bukanlah faktor penentu dari kegagalan atau keberhasilan sebuah IPO, melainkan strategi yang tepat. “Masalah pasar tidak pernah bisa kita prediksi, tapi di pasar yang sedang jelek pun, IPO bisa sukses” ujar Direktur Mandiri Sekuritas, Harry Supoyo.
Menurut dia, faktor-faktor yang mendukung dalam keberhasilan sebuah aksi korporasi semacam IPO adalah sektor industrial, valuasi yang tepat, dan strategi menawarkannya kepada investor. Sementara itu, Pengamat pasar modal, Yanuari Rizky mengatakan agar proses go public perusahaan negara bisa sukses maka pemerintah sebagai pemegang saham harus benar-benar mengkaji perusahaan yang siap dan perlu melakukan IPO. “Sebaiknya yang melakukan IPO adalah perusahaan-perusahaan yang tidak strategis, “ katanya, “Namun bukan berarti, perusahaan yang tidak strategis tersebut tidak bisa laku.”
Selain itu, menurut Rizky pemerintah juga harus mampu menyelesaikan problem terkait time lack keputusan politik. Ini mengingat, keputusan politik DPR tetap diperlukan setiap akan melakukan IPO terhadap BUMN. DPR adalah perwakilan rakyat sementara rakyat adalah pemilik saham sesungguhnya dari BUMN.
Terkait dengan masalah ini, ada baiknya pemerintah belajar dari pengalaman negara lain yang sukses melakukan privatisasi BUMN-nya. Di Jerman, misalnya, privatisasi BUMN dilakukan menjual saham BUMN-nya kepada Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), sebuah holding company yang 80 persen sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Jerman.
Kemudian KfW BUMN yang dibeli tersebut dikelola agar terjadi peningkatan value added dan dijual ke publik ketika harganya sudah tinggi. Dengan skema ini, pemerintah Jerman sangat diuntungkan. Sebab, sebagian besar value added yang dihasilkan dari proses privatisasi BUMN tersebut kembali ke pemerintah.
Saat ini, dalam catatan Bursa Efek Indonesia (BEI) terdapat 17 perusahaan negara yang melantai, dari 141 perusahaan yang ada. Sebagai perbandingan, pemerintah Vietnam mampu menggiring hingga 265 perusahaan pemerintah untuk listing di pasar modal negara tersebut sepanjang 2006-2010.
Perusahaan-perusahaan pelat merah dinilai sangat diminati oleh pasar. Pergerakannya menjadi faktor penentu IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan). Karena itu tidak heran jika Direktur Utama PT BEI Ito Warsito kerap mengungkapkan harapannya agar pemerintah lebih gencar lagi untuk dapat mendorong lebih banyak BUMN lagi untuk melakukan IPO.
Menurut Ito, BEI tidak bisa mendorong BUMN untuk dapat listing, pemerintah sendiri yang bisa melakukannya. “Yang bisa melakukan hal tersebut adalah pemerintah sendiri. Maka dari itu upaya pemerintah yang menginginkan BUMN untuk terdaftar di BEI,” kata Ito.
Pemerintah sendiri menyiratkan beberapa BUMN yang akan dilepas tahun depan adalah PT Semen Baturaja, PT Pegadaian, PT Tugu Pratama, anak usaha PT Pertamina dan salah satu anak usaha PT Krakatau Steel Tbk. Akhir tahun 2010 kementrian BUMN juga pernah menargetkan tahun ini bakal ada 10 BUMN yang akan listing di BEI, yakni PT Pelindo II, PTPN III, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Jasindo, PT Perum Pegadaian, PT Rekayasa Industri, PT Permodalan Nasional Madani, PT Kawasan berikat Nusantara, Semen Baturaja. Namun hingga kini belum ada yang terlaksana. SP