Kisruh dihentikannya bahan bakar Merpati oleh Pertamina membuka tabir adanya persoalan utang-piutang antara kedua BUMN itu. Perlu upaya dan keberpihakan pemerintah untuk menyelamatkan maskapai yang menjadi jembatan udara antar pulau-pulau kecil di Indonesia.
Oleh : Lila Intana
BERITA TERKAIT
Merpati tak pernah ingkar janji. Kalimat tersebut terkenal sejak munculnya sebuah film berjudul sama pada pertengahan 80-an yang diadopsi dari novel karangan novelis Mira W, yang juga memiliki titel sama. Namun kita tidak sedang mengupas persoalan film maupun novel, melainkan maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines yang juga tengah bermasalah dengan janji.
Persoalan itulah yang akhirnya membuat Pertamina menghentikan pasokan bahan bakar untuk pesawat Merpati hingga membuat maskapai itu membatalkan semua penerbangan selama dua hari pada Oktober lalu. Alasannya, karena maskapai penerbangan perintis pelat merah itu sudah menunggak utang pembelian avtur senilai Rp 550 miliar sejak 2006 dan dinilai Pertamina tidak punya itikad baik untuk membayar. Dan tentu berakibat pada kerugian perusahaan penerbangan negara itu.
Penghentian pasokan avtur selama dua hari terhitung pada 15-16 Oktober lalu berdampak pada penghentian sekitar 80 persen penerbangan Merpati. Embargo dari Pertamina yang juga perusahaan negara sudah cukup membuat sejumlah penerbangan dari dan ke Bandara Juanda, Surabaya dan Bandara Hasanuddin, Makassar, ditiadakan. Karena bandara-bandara itulah“Selama Pertamina menghentikan pasokan avtur, kami rugi Rp2 miliar hingga Rp2,5 miliar per hari,” ujar Direktur Utama Merpati Sardjono Jhony Tjitrokusumo.
Sejatinya, Merpati bisa tetap mendapatkan pasokan bahan bakar seandainya maskapai itu bisa melunasi utangnya pada BUMN Migas itu. Merpati memiliki kewajiban kepada Pertamina yang perlu diselesaikan yakni utang tahap I sebesar Rp212 miliar yang merupakan akumulasi pengambilan avtur yang tidak dibayar selama periode 2006-2007. Selain itu ada pula kewajiban yang timbul karena utang pengambilan Avtur sampai 26 Agustus 2011 yang disebut utang tahap II sebesar Rp 44,2 miliar. Malahan masih ada juga utang yang timbul dari pengambilan avtur setelah periode 2006-2007 sebesar 700 ribu dollar AS. Semua itu belum dihitung dengan denda dan bunga.
Utang tersebut juga belum diakumulasikan dengan utang berjalan yang menurut catatan Pertamina terhitung hingga 15 Oktober 2011 pukul 00.00 mencapai Rp3,83 miliar dan 104,16 ribu dollar AS dengan belum memperhitungkan pengambilan avtur pada hari Sabtu dan Minggu.
Tetapi maskapai yang lahir 6 September 1962 itu tak berdaya untuk melunasi utang-utangnya karena ketiadaan dana. Tadinya Merpati akan membayar lunas utangnya ke Pertamina begitu dana dari pemerintah yang dikucurkan dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) yang sebesar Rp 561 miliar diterima. Akan tetapi malang bagi Merpati, dana yang akan diberikan lewat PT Perusahaan Aset Negara (PPA) itu belum juga cair.
PPA yang merupakan BUMN yang menangani restrukturisasi Merpati. Selain ke Pertamina, Merpati juga berutang Rp330 miliar ke PT Garuda Indonesia.
Dari seluruh utang Merpati kepada Pertamina, PPA menjamin utang tahap I Rp212 miliar dan tahap II Rp 44,2 miliar. Bahkan menurut pihak Pertamina, dalam perjanjian terbaru yang ditandatangani pada 18 Agustus 2011, Merpati harus membayar tunai seluruh pembelian avtur mulai 5 September 2011. “Artinya Merpati harus membayar tunai,” ujar Vice president Corporate Communication Pertamina Mochamad Harun.
Namun belakangan, meski utang belum dibayar, Pertamina akhirnya membuka keran avtur untuk Merpati lagi dengan beberapa persyaratan tentunya. Pertama, utang Merpati tahap I yang sebesar Rp 212 miliar harus dibayar dalam waktu maksimal tujuh tahun. Kedua, utang tahap II yang sebesar Rp44,2 miliar harus dibayar maksimal dalam waktu dua tahun. Ketiga, utang berjalan yang sebesar Rp3,83 miliar dan 121 ribu dlolar AS harus sudah dibayar 21 Oktober. Kempat, Pertamina meminta pembayaran avtur berikutnya secara tunai, alias tak boleh mengutang lagi.
Pemerintah Ingkar Janji
Banyak pihak yang menyayangkan kisruh yang terjadi antar dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu, terutama bagi Merpati. Betapa tidak maskapai yang didirikan dengan modal Rp10 juta dan enam pesawat 49 tahun lalu ini diakui memang berfungsi sebagai jembatan penghubung antar pulau-pulau di Indonesia. Merpati ditugaskan untuk melayani rute-rute pendek sementara saudara tuanya Garuda Indonesia Airways (GIA) melayani rute-rute panjang.
Namun dengan mencuatnya kasus ini, bisa jadi citra Merpati agak sedikit memudar Padahal dalam beberapa tahun ke depan ditargetkan jumlah penumpangnya akan berlipat dua dari 51,4 juta orang tahun ini menjadi 103,4 juta orang.
Tantangan ke depan makin berat jika dilihat peta persaingan di industri penerbangan saat ini. Posisi Merpati bisa saja diambil alih oleh dua maskapai swasta, Lion Air ataupun Sriwijaya Air. Belum lagi jika kebijakan udara terbuka (open sky policy) ASEAN benar-benar dilaksanakan, daftar pesaing itu bisa makin panjang.
Oleh karena itu, Merpati harus lebih dulu melepas belitan masalah utang-piutang dengan Pertamina serta kinerja keuangannya sebelum bisa berkonsentrasi meningkatkan layanan untuk memenangkan persaingan.
Dalam beberapa periode, berdasarkan audit PPA, Merpati memang terus merugi, kecuali pada 2009 yang untung Rp 16,617 miliar. Sepanjang tahun ini, Merpati diperkirakan masih merugi Rp146 miliar.
Berdasarkan hitung-hitungan PPA, kebutuhan pendanaan Merpati untuk tahun ini mencapai Rp618,598 miliar. Sebesar Rp561 miliar di antaranya didapat dari suntikan dana pemerintah yang nyatanya tak kunjung turun. Hanya Rp18,598 miliar yang diambil dari pos kas internal. Guna menggenjot laba operasional, Merpati sendiri sepanjang 2011 menambah 18 rute baru sehingga seluruhnya berjumlah 102 rute.
Anggota Komisi XI DPR RI Sumaryoto menyatakan tak heran jika Merpati belum bisa menepati janjinya membayar tunggakan avtur ke Pertamina. Namun bagaimana maskapai itu bisa membayar tunggakan jika pemerintah belum mencairkan suntikan dana ke Merpati sebesar Rp561 miliar? Padahal, suntikan dana yang sudah mendapat persetujuan DPR pada April 2011, dan sesuai kesepakatan pemerintah dan DPR pada 4 Juli 2011 dananya akan diambilkan dari APBN-Perubahan 2011. Dan seharusnya dana itu sudah cair pertengahan Oktober lalu. “Sampai Pertamina menghentikan pasokan avtur, pemerintah belum juga mencairkan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) itu ke Merpati,” ujar Sumaryoto.
Kondisi tersebut memang ironis, karena ketidakberdayaan Merpati membayar kewajiban kepada pihak lain disebabkan oleh tertunda pemberian dana dari pemerintah. “Untuk itu, marilah kita selamatkan Merpati sekarang, atau tidak sama sekali supaya tidak membebani keuangan negara. Bila Merpati hendak diselamatkan, maka semua stakeholders atau harus turun tangan, terutama pemerintah untuk segera mencairkan dana PMN bagi Merpati sebesar Rp561 miliar,” jelas Sumaryoto.
Bila dana PMN tak segera dicairkan, Merpati berpotensi akan jatuh menjadi perusahaan kolaps yang tentunya akan menghadirkan multiplier effect yang tidak sepele, termasuk nasib karyawan. Meski begitu DPR tentu tidak ingin jika nanti dana PMN disalurkan namun tidak ada perubahan berarti pada kinerja keuangan Merpati.
“Setelah dana PMN cair, setiap tiga bulan Merpati harus memberikan laporan keuangan ke pemerintah dan DPR. Turunkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit. “Gantung” saja direksinya kalau tak bisa bekerja!“ tegas Sumaryoto.
Sementara itu Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan, bahwa Merpati merupakan penanda Republik Indonesia di langitnya sendiri. “Ketika berapi-api mengecam agresivitas maskapai luar negeri untuk merebut langit kita, tapi sebaliknya apa yang diperbuat untuk Merpati, yang mengusung bendera kita di atas sana?” tanya Dudi. SP