PT Dirgantara Indonesia mulai menggeliat setelah sekian tahun lunglai tak berdaya. Mulai 2009, perusahaan pembuat pesawat itu telah mencatatkan laba. Kini restrukturisasi keuangan yang sudah dilakukan mulai memperlihatkan hasil dan kontrak pun mulai berdatangan.
Oleh : Ainur Rahman
BERITA TERKAIT
PT Dirgantara Indonesia pernah dielu-elukan masyarakat karena menaikkan pamor bangsa Indonesia di bidang teknologi. Pada era 80-an, sewaktu masih bernama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), institusi itu sudah membuktikan bahwa Indonesia sudah bisa berdiri sejajar dengan negara maju lain karena mampu memproduksi pesawat terbang sendiri.
Tidak hanya itu, IPTN juga mampu membuat helikopter dan senjata, serta menjadi penyedia jasa pelatihan dan pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat pabrikan terkenal dunia. Selain itu perusahaan yang berdiri sejak 1976 itu juga sanggup membuat komponen pesawat untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia seperti Boeing, Airbus, General Dynamic, dan Fokker.
Namun, perusahaan yang pada 1985 berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) itu sempat hampir crash ketika krisis moneter 1998 mengguncang Indonesia. Akibatnya, pada 2000, IPTN direstrukturisasi dengan mengubah nama menjadi PTDirgantara Indonesia (PTDI) hingga kini. Jadilah, sepanjang periode 1998 hingga 2002, PTDI merugi hingga Rp7,25 triliun dan terbelit utang sebesar Rp3 triliun.
Pasca reformasi, Presiden Abdurahman Wahid yang berkuasa saat itu, memberikan tugas khusus kepada Rizal Ramli yang sedang menjabat Direktur Utama Bulog, untuk membenahi PTDI yang sekarat. Hasilnya, mulai 2002, lambat laun kinerja perseroan pesawat terbang ini mulai menunjukkan perbaikan.
Sayangnya ketika BUMN dipimpin Laksama Sukardi di saat Presiden Megawati berkuasa pada 2001, PTDI kembali diterpa kerugian karena sepinya permintaan pembuatan pesawat terbang. Akibatnya, terjadi perampingan karyawan besar-besar saat itu yaitu dari sekitar 16 ribu menjadi hanya sekitar empat ribuan.
Sejak saat itu, pamor PTDI anjlok karena lenyapnya pesanan pembuatan pesawat terbang. Banyak putra terbaik negeri di bidang teknologi pesawat memilih pindah ke luar negeri. Puncaknya ketika tahun 2007, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan PTDI pailit akibat belum mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun dan jaminan hari tua kepada mantan karyawannya. Walhasil, PTDI makin terbebani dengan utang yang akhirnya membuat perusahaan yang pernah dipimpin oleh BJ Habibie ini mati suri.
Pemerintah pun bergerak. Pada tahun yang sama, pemerintah merombak manajemen dan menunjuk Budi Santoso yang sebelumnya sebagai Direktur Utama PT Pindad, menjadi orang nomor satu di sana. Perlahan namun pasti kinerja PTDI mulai menunjukkan perkembangan positif. Hal Itu terlihat dari catatan keuntungan yang mulai muncul sejak 2009 mencapai Rp117,08 miliar, padahal setahun sebelumnya PTDI masih merugi sekitar Rp84,34 miliar.
Manajemen tentu tak mau kehilangan momentum perbaikan ini. Tak heran jika pada 2010 diputuskan untuk mengalokasikan belanja modal (capital expenditure) sebesar Rp225,11 miliar, melonjak tajam dari Rp7,3 miliar pada 2009. Sedangkan belanja operasional ditargetkan mencapai Rp 1,63 triliun, dari sebelumnya Rp 889,7 miliar.
Total nilai penjualan pada 2010 mencapai Rp1,29 triliun yang terdiri atas penjualan dalam negeri Rp538,53 miliar dan penjualan dalam negeri Rp755,25 miliar, dari sebelumnya diperkirakan Rp771 miliar.
Meski begitu neraca keuangan perseroan pada 2010 masih mencatat utang jangka panjang sebesar Rp2,5 triliun, naik dari perkiraan sebelumnya Rp1,79 triliun. Kondisi itu membuat PTDI bisa dikatakan masih sakit.
Untuk menyembuhkannya, maka Budi dan kawan-kawan mengajukan tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) nontunai kepada pemerintah yang dibagi atas dua bagian. Pertama, konversi utang baik luar negeri (SLA) dan pinjaman dari rekening dana investasi (RDI) menjadi PMN senilai Rp1,41 triliun. Kedua, pengesahan penyertaan modal sementara senilai Rp2,38 triliun. Langkah kedua ini diharapkan akan memperbaiki kondisi ekuitas perusahaan yang memang tengah tertekan senilai Rp436 miliar dari revaluasi aset tanah dan selisih nilai PMN dana talangan tahap II senilai Rp18 miliar.
Pengajuan PMN nontunai ini dilakukan sebagai bagian dari upaya PTDI menyehatkan kembali neracanya yang diwarnai ekuitas negatif hingga Rp707 miliar tahun 2010. Dengan adanya PMN nontunai ini, diharapkan akan mendongkrak nilai ekuitasnya menjadi positif Rp1,191 triliun tahun 2011.
Tidak hanya meminta bantuan nontunai, PTDI juga mengajukan PMN dalam bentuk tunai senilai Rp675 miliar kepada DPR. Namun, langkah ini dimintakan untuk menyehatkan posisi kas yang defisit.
Selain itu, PTDI juga meminta tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp2,055 triliun pada 2012. Dana PMN 2012 itu antara lain dibutuhkan untuk investasi senilai Rp 707miliar.
Menurut Budi, PMN yang dimintakan pada tahun 2012 itu dibagi atas dua termin pencairan. Pertama, dialokasikan dalam APBN 2012 senilai Rp1 triliun. Kedua, dianggarkan dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2012 senilai Rp1,055 triliun. “Kami memang mendapatkan PMN senilai Rp1,579 triliun dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), namun tidak sedikitpun yang diberikan dalam bentuk uang tunai,” ujar ahli robot lulusan Belgia yang memimpin sejak 6 Juli 2007.
Dana PMN tahun 2012 itu akan digunakan untuk tiga keperluan. Pertama, membayar pengembalian pinjaman dana Rp675 miliar. Kedua, menambah modal kerja Rp673 miliar. Ketiga, untuk investasi sebesar Rp707 miliar.
Dengan PNM non-tunai APBN-P Tahun 2011 sebesar Rp1,57 triliun PTDI bakal meraup untung pada tahun 2012. PMN non-tunai APBN-P 2011 ini telah memperbaiki struktur permodalan perusahaan dari negatif Rp985 miliar pada 2010 menjadi Rp617 miliar pada 2011.
Jika PTDI mendapat PMN tunai sebesar Rp1 triliun pada APBN Tahun 2012, nilai ekuitasnya meningkat dari Rp617 miliar pada 2011 menjadi Rp1,713 triliun pada 2012. Tentu, hal itu berpengaruh pada laba bersih yang bakal diraup senilai Rp96 miliar, dari 2011 yang diperkirakan masih mengalami kerugian sebesar Rp304 miliar. Pendapatan usaha bakal meningkat signifikan sekitar 103 persen menjadi Rp2,66 triliun dari sebelumnya Rp1,304 triliun.
Kerja Sama Produksi
Kondisi perusahaan yang makin sehat itu membuat pesanan-pesanan pekerjaan serta kontrak-kontrak mulai berdatangan lagi. Selain sudah mengantungi kontrak sebesar Rp2,4 triliun, kontrak lainnya yang sedang dalam proses adalah memproduksi dua unit pesawat militer CN235 Surveillance untuk Korea Selatan, tiga unit CN235 Patrol Maritime untuk TNI Angkatan Udara, dan satu unit C212-400 untuk Thailand.
Meski demikian upaya penyehatan keuangan bukanlah satu-satunya strategi manajemen di bawah Budi Santoso. Penguatan kerjasama dengan mitra strategis, memperluas pangsa pasar, dan meningkatkan kompetensi juga dilakukan oleh manajemen PTDI.
Salah satu bukti shahihnya adalah kerjasama dengan Airbus Military. Strategi ini bahkan disebut-sebut bisa menjadi batu loncatan kemajuan industri ini dengan target memperluas pangsa pasar ke wilayah Asia Pasifik. Awal Oktober kemarin keduanya sepakat bekerjasama memproduksi dan memasarkan bersama pesawat NC295.
Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar mengatakan, kerjasama antara PTDI dan Airbus Military merupakan salah satu upaya revitalisasi industri dirgantara. Polanya dengan melakukan pemutakhiran produk, pembukaan pasar baru, dan memperkuat jaringan dengan mitra strategis.
Pengamat industri penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan, kemitraan dengan Airbus Military akan mendorong PTDI menjadi perusahaan penerbangan yang sejajar dengan perusahaan penerbangan di Eropa. Hal itu dimungkinkan karena tenaga ahli PTDI sudah belajar langsung ke pabriknya di Spanyol.
Selain itu, PTDI juga bekerja sama dengan Eurocopter (EC) dalam pembuatan airframe helikopter mutakhir EC 725/EC 225. Dalam kerjasama ini, PTDI akan mengerjakan pembuatan komponen tail boom dan fuselage sampai 2020. SP