Meskipun membukukan prestasi dalam menyalurkan kredit, sebagian bank swasta masih ragu-ragu menurunkan suku bunga kreditnya.
Oleh : Yudi Rachman
BERITA TERKAIT
Sebetulnya tidak ada yang benarbenar berbeda apa yang dialami oleh bank-bank swasta sepanjang tahun ini jika dibandingkan tahun lalu. Di satu sisi, dilihat secara keseluruhan, bank-bank umum milik investor nonpemerintah ini masih mencatatkan pertumbuhan kredit yang cukup gemilang setidaknya lebih baik dari target yang ditetapkan.
Namun di sisi lain, bank swasta masih malas untuk segera menyesuaikan suku bunga sesuai arahan Bank Indonesia dalam kebijakan BI Rate. (ini juga berlaku untuk kelompok bank lainnya). Penurunan suku bunga lebih besar diterapkan pada suku bunga deposito untuk mengikuti penurunan BI Rate, namun tidak dengan suku bunga kredit. Sehingga bunga kredit masih berada di level yang cukup tinggi.
Dua strategi itu tak pelak membuat laba perbankan terus meningkat signifikan. Dalam catatan BI, industri perbankan di Indonesia meraup laba bersih Rp56,74 triliun sepanjang Januari-September 2011. Laba tersebut naik 31 persen dibandingkan periode yang sama di 2010 Rp43,36 triliun.
Kenaikan laba perbankan ini ditopang oleh kenaikan pendapatan operasional selama Januari-September 2011 yang sebesar Rp287,634 triliun, naik dari periode yang sama tahun lalu Rp 258,489 triliun. Pendapatan non-operasional perbankan pada periode Januari-September 2011 juga naik menjadi Rp 104,49 triliun, dari periode yang sama tahun lalu Rp 87,09 triliun.
Pendapatan operasional sebagian besar diperoleh dari penyaluran kredit yang ternyata memang didominasi oleh bank swasta. Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A Johansyah mengatakan kredit rupiah terlihat naik pada seluruh kelompok, namun kenaikan tertinggi terjadi kelompok bank swasta.
Kinerja yang kinclong ini dinikmati oleh hampir semua bank umum swasta nasional (BUSN) dalam catatan bank sentral. Lihat saja yang terjadi dengan bank swasta terbesar di Indonesia PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Selama Januari hingga September 2011, BCA mencatat kenaikan laba bersih sebesar 25,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan laba bersih tercatat sebesar Rp 7,7 triliun, naik dari Rp 6,1 triliun pada periode yang sama tahun 2010.
Pertumbuhan laba itu dinilai karena adanya peningkatan pada penyaluran kredit. Sampai akhir September 201, portofolio kredit yang tercatat mencapai Rp 176,3 triliun. Angka tersebut naik sebanyak 27 persen dari posisi tahun lalu yang hanya sebesar Rp 138,9 triliun. Kenaikan ini disebabkan oleh kuatnya permintaan kredit komersial dan konsumer.
”Selama sembilan bulan pertama 2011, BCA mampu mempertahankan pertumbuhan yang solid dalam penyaluran kredit maupun aktivitas perbankan transaksional,” ujar Presiden Direktur PT BCA Tbk, Jahja Setiaatmadja.
Menurut Jahja, meningkatnya portofolio kredit di semua segmen karena didorong oleh lingkungan usaha yang kondusif, permintaan nasabah yang kuat dan tingkat suku bunga yang relatif rendah. Kondisi tersebut membuat kredit komersial dan usaha kecil dan menengah (UKM) dapat tumbuh sampai 33,7 persen (year on year) menjadi Rp 70,2 triliun per September 2011. Keadaan yang sama juga terjadi pada kredit konsumer, kredit konsumer mampu tumbuh 28,2 persen, menjadi Rp 44,1 triliun. Capaiannya tersebut karena mendapatkan daya dukung dari kredit pemilikan rumah (KPR) yang tumbuh 41,4 persen menjadi Rp 23,8 triliun, dan kredit kendaraan bermotor (KKB) yang naik 23,2 persen menjadi Rp 15,9 triliun.
Dalam dua jenis kredit itu BCA dinilai unggul karena mampu menawarkan bunga lebih rendah dari yang ditawarkan bank lain. Bahkan untuk KPR, bank milik kelompok usaha Djarum ini berani menawarkan bunga single digit, yang kemudian membuat bank lain kelabakan.
Prestasi yang cukup bagus juga terlihat dari Bank Permata, meskipun tidak segemilang koleganya. Bank yang pernah meraih penghargaan sebagai ”Mobile Phone Banking Terbaik di Asia Pasifik” versi Asian Banker 2011 mencatatkan laba bersih setelah pajak sebesar 23 persen atau menjadi Rp 1,117 triliun. Sementara laba operasional konsolidasi meningkat 18 persen menjadi Rp 1,117 triliun. Di sisi lain pendapatan bunga bersih naik sebesar 25 persen, mencapai Rp 2,990 triliun dan pendapatan berbasis biaya meningkat 17 persen, mencapai Rp 748 miliar.
Dari sisi kredit, Bank Permata mengalami kenaikan 39 persen menjadi Rp 64,6 triliun. Sedangkan dana masyarakat (DPK) meningkat 29 persen menjadi Rp 69 triliun. Dan dana syariah meningkat 116 persen menjadi Rp 2,9 triliun.
TINGKAT BUNGA
Kendati demikian, prestasi itu tetap diikuti oleh kritikan keras takkala suku bunga yang dikenakan masih tinggi. Saat ini suku bunga bank swasta rata-rata masih berkisar 14 persen. Padahal tingkat BI Rate sudah menyentuh single digit di level 6 persen setelah dipangkas BI 75 basis poin.
Bank swasta dianggap hanya menebar janji akan segera menurunkan suku bunga kredit setelah ada masa penyesuaian beberapa bulan. Namun untuk suku bunga deposito, penyesuaian akan dilakukan lebih cepat.
Pjs. Dirut PT Bank Internasional Indonesia (BII) Tbk Rahardja Alimhamzah mengatakan, manajemen akan melakukan pemangkasan suku bunga dasar kredit (SBDK) pada penetapan selanjutnya menyusul pemangkasan suku bunga acuan yang telah mencapai 6,0 persen. ”BII memperkirakan, pada penetapan SBDK berikutnya akan terjadai pemangkasan,” ujar Rahardja.
Sementara itu manajemen Bank Mutiara sudah menurunkan suku bunga deposito secara bertahap. ”Suku bunga deposito telah turun bertahap sampai 50 basis poin,” ujar Direktur Bank Mutiara Benny Purnomo. Sedangkan untuk suku bunga kredit, ia menambahkan, manajemen harus menunggu rapat komite aset dan likuiditas (asset liquidity committee/ALALCO).
Menurut ekonom Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Mirza Adityaswara, lambannya kalangan industri perbankan merespons suku bunga acuan dengan menurunkan suku bunganya dikarenakan tersandera oleh deposan-deposan besar. Deposan di Indonesia masih sulit untuk menerima suku bunga deposito di bawah angka inflasi. Pasalnya margin dinilai tergerus kenaikan harga. “Bisa nggak bunga deposito di bawah inflasi? Negara lain sih bisa. Tapi sebenarnya kondisi sekarag sudah membaik, dengan inflasi 4,5 persen BI Rate 6 persen. Artinya risiko sudah membaik dari sebelumnya yang pernah selisih 5 persen,” ujar Mirza.
Selain itu, lanjutnya, rasio kredit terhadap dana (loan to deposit ratio/LDR) perbankan juga cukup besar, sehingga tingkat ketergantungan pada likuiditas cukup besar. Hal itu bisa dilihat dari LDR sejumlah bank yang di atas 90 persen. LDR perbankan hingga September 2011 mencapai 81,36 persen, naik dari periode sebelumnya 77,06 persen. Kondisi tersebut, kata Mirza, dilihat oleh para deposan besar, sehingga meminta imbal hasil tinggi, bahkan di atas BI Rate.
Pengamat ekonomi Ryan Kiryanto mempunyai pendapat yang sama, bahwa sulitnya suku bunga turun karena tersandera para deposan besar. Para pemilik dana besar menekan bank untuk tidak menurunkan bunga simpanan. ”Padahal, syarat penurunan bunga kredit adalah kalau bunga simpanan turun duluan sehingga cost of fund menjadi rendah,” jelasnya. Selain itu, tambahnya, karena struktur suku bunga perbankan di Indonesia itu rigid alias kaku.
Seharusnya, masih menurut Ryan, bank-bank besar yang likuiditasnya kuat tak perlu takut dengan tekanan atau ancaman deposan besar baik perorangan maupun institusi yang akan memindahkan dananya ke bank lain. ”Lebih baik bank ini memperbesar dan memperluas basis deposan ritel individual sehingga ketergantungan pada deposan besar menjadi berkurang,” kata dia.
Bahkan menurut kedua ekonom itu, kondisi ini tampaknya masih akan terus berlangsung tahun depan, kecuali ada kebijakan khusus dari otoritas perbankan. SP