Mereka yang pernah atau akan berangkat haji atau umroh, saya yakin, banyak yang memendam keinginan untuk mencium Hajar Aswad. Batu yang pernah menjadi sebab silang sengketa para petinggi kabilah Arab. Mereka berebut meletakkan di tempat semula setelah dinding Ka’bah rusak tergerus banjir. Kisah yang kemudian mengangkat Muhammad SAW yang saat itu memberikan solusi elegan mendapat predikat al-Amin (yang dapat dipercaya).
Selepas thawaf atau mengitari Ka’bah tujuh kali, para jamaah itu biasanya berusaha menghampiri batu hitam yang letaknya di pojok, hanya beberapa jengkal dari pintu Ka’bah. Lautan orang melakukan thawaf, sehingga peluang keberhasilan menciumnya agak kecil. Apalagi, pada saat musim haji. Mereka yang berhasil menciumnya, tak pelak, menjadi pengalaman berkesan. Sepulang ke Tanah Air, kadang, kisahnya lebih heboh dan berasa dari pada oleh-oleh yang dibawa.
Sejatinya mencium Hajar Aswad hanyalah amalan sunnah. Artinya, kalau tidak dilakukan pun tidak mengurangi kemabruran haji. Sahabat Umar pernah mengungkapkan, seandainya ia tidak melihat Nabi SAW menciumnya, ia tidak berhasrat menirunya. Namun, tampaknya bukan hanya bagi jamaah Indonesia saja, Hajar Aswad tetaplah magnet luar biasa. Para tamu Allah dari berbagai penjuru dunia seperti bersaing untuk bisa menciumnya dengan segala cara. Kadang ada yang saling sikut, atau malah terjatuh terinjak, sengaja atau tidak.
Karena itu, ada yang menangkap ini sebagai peluang bisnis. Sekelompok orang, tiga-empat orang menawarkan diri mendampingi jamaah agar bisa menciumnya. Tentu dengan iming-iming “jaminan” bisa mencium. Tidak murah bayaran “preminya”. Ada yang menyebut 200-400 riyal. Kalau berhasil, kabarnya mereka bisa minta tambah setorannya.
Bagi yang tertarik, mungkin tidak bisa serta merta disalahkan. Namanya juga ikhtiar. Boleh jadi, cara itu menjadi semacam “asuransi” yang menjamin dari risiko kegagalan mencium Hajar Aswad bila mereka melakukannya sendiri. Apalagi, kalau badan sudah tua dan tidak segesit mereka yang masih muda.
Analogi
Kisah di atas saya angkat sekadar sebagai analogi. Bahwa semua orang perlu menyiapkan diri dari hal terburuk. Itulah kenapa mereka perlu semacam jaminan. Tidak terkecuali dalam ranah ibadah sekalipun. Hanya, apakah cara untuk mendapatkan jaminan itu sudah tepat?
Dalam kisah di atas, ada paling tidak dua hal yang perlu dicermati. Pertama, bagaimana kalau dalam rangka ‘penjaminan’ ini, para pendamping —ada yang menyebutnya sebagai joki— ‘terpaksa’ menyikut dan menginjak jamaah lain demi menggolkan tujuan kliennya? Kalau berhasil, ya itu cuma amalan sunnah. Kalau gagal, sementara sudah menyakiti fisik dan hati mereka yang tersikut, bukankah itu mengurangi ke-khusu’an atau lebih parah lagi kemabruran haji atau umroh si klien sendiri?
Yang kedua, nah ini yang lebih parah, orang bisa lupa karena merasa seolah-olah sudah ada ‘jaminan’, sehingga terbersit di dalam hatinya rasa jumawa. Mungkin ia akan bilang, “Tenang Bro, aku santai saja. Sudah ada yang jamin.” Ia lupa bahwa orang yang menjamin pun perlu ‘dijamin’.
Apalagi ini peristiwa sakral, di depan rumah Allah. Bagaimana mungkin mereka lebih percaya kepada joki dari pada kemustajaban doa? Bukankah mereka itu dhuyufu rahman (para tamu Allah)? Laiknya tamu yang baik, kalau hendak, katakanlah menumpang ke belakang, mereka permisi dulu kepada sang pemilik rumah. Bayangkan kalau Anda pemilik rumah, ada tamu yang nyelonong begitu saja, tentu Anda risih atau bahkan marah, bukan?
Karena itu saya lebih percaya, bukan mereka yang kuat, tidak selalu pula mereka yang sudah mengantongi tiket ‘jaminan’, yang bisa menciumnya. Tapi mereka yang karena keikhlasan dan niat yang baik, meskipun fisik tidak memungkinkan, justru dimuliakan Allah dengan cara-Nya.
Asuransi Vs Jaminan
Asuransi yang saya ceritakan di atas, tentu beda dengan asuransi dalam pengertian yang biasa kita dengar. Kisah di atas mungkin lebih tepat menyebutnya ‘jaminan’. Mendengar kata asuransi, yang pertama terbayang dalam pikiran saya adalah semacam pengalihan risiko. Atau, menyiapkan diri dari kemungkinan terburuk, bencana, atau petaka dengan membayar sejumlah uang sebagai premi.
Di masa Nabi Muhammad SAW, belum ada asuransi sebagaimana yang dilakukan perusahaan asuransi modern. Namun bukan berarti tidak ada metode untuk mengurangi atau menangkal risiko. Salah satu yang tidak asing di telinga kita adalah nasehat Beliau agar umatnya memiliki jaminan dengan gemar bersedekah. Sedekah ibaratnya tameng yang membentengi pelakunya dari segala ancaman. “Sedekah itu benar-benar menolak bala.” (HR Thabrani dari Abdullah ibnu Mas’ud).
Bala yang dimaksud di sini tidak ubahnya risiko yang ditanggung oleh asuransi modern. Bedanya, bala di sini meng-cover hampir semua risiko: dari risiko kecelakaan, dagangan tidak laku, hingga risiko gagal panen. Sementara asuransi risiko yang ditanggung sebatas yang diperjanjikan.
Beda yang kedua, pihak yang diuntungkan. Kalau asuransi konvensional, saya rasa, keuntungan kembali kepada yang bayar asuransi dan penyedia jasanya. Kadang, kalau selama periode tidak ada klaim, mungkin pembayar asuransi boleh jadi rugi. Dalam sedekah, bukan hanya pelakunya yang terlindung dari bala, sedekahnya juga bisa mengangkat nasib, harkat martabat orang lain yang ditolongnya. Ini belum berhenti. Sebab, sedekah tidak hanya mengalir manfaatnya di dunia, tapi juga insyaallah pelakunya juga mendapat ‘jaminan’ pahala akhirat.
Beda ketiga, aspek kepastian. Mungkin ada yang bertanya bagaimana kalau sudah bersedekah tapi tetap terkena musibah? Tidak ada kepastian jaminan dong, sebagaimana asuransi modern? Selama sedekahnya benar (ikhlas karena Allah), saya percaya Dia tidak akan mengingkari janji-Nya. Sementara, ada juga perusahaan asuransi yang ‘nakal’ yang tidak mencairkan klaim dari anggotanya dengan mencari-cari celah alasan. Perusahaan Asuransi pun tidak yakin 100 persen bisa menjamin anggotanya. Itulah kenapa mereka masih perlu menjaminkan dirinya kepada perusahaan Reasuransi, agar risikonya tersebar, tidak harus mereka pikul sendiri.
Asuransi Syariah
Meskipun saya mendukung sedekah, bukan berarti saya menolak asuransi. Karena saat ini sudah berkembang asuransi syariah, yang fungsi dan operasionalnya dijalankan sejalan dengan prinsip syariah. Jadi antara asuransi dan sedekah bisa berjalan seiring.
Di sini peserta tidak membayar premi, tapi konstribusi dalam akad tabarru’. Secara bahasa istilah ini identik dengan sedekah atau berderma. Yakni melakukan kebaikan tanpa syarat. Akad ini memfasilitasi pemindahkan kepemilikan harta/dana seseorang kepada orang lain, melalui cara derma/sedekah.
Yang perlu dijaga adalah sikap tetap tawadhu’ (rendah hati) dan tawakkal (pasrah diri) kepada Allah SWT. Jangan mentang-mentang pesertanya merasa sudah punya asuransi kemudian membuat hati jumawa seperti dalam kisah jamaah haji di atas.
Yang kedua tentang surplus underwriting. Sederhananya, perusahaan asuransi akan mencairkan klaim anggotanya dan membayar dana provisi atau biaya lainnya. Bila dana tabarru’ ditambah hasil investasi dikurang klaim, provisi dan biaya lain ada sisanya, itulah yang disebut surplus underwriting. Madzhab Timur Tengah menganggap semua surplus harus dikembalikan kepada peserta. Sebaliknya Madzhab Malaysia menyerahkan surplus itu kepada perusahaan takafulnya, yang memungkinkan dibagi oleh mereka dengan peserta.
Bila konsisten dengan argumen bahwa dana konstribusi yang dibayar itu tak ubahnya sedekah, mestinya bisa dimungkinkan bahwa dana itu tidak hanya lari kepada pesertanya saja atau perusahaan dan pesertanya, tapi bahkan orang lain yang benar-benar lebih memerlukannya. Orang-orang dhuafa, yatim, fakir dan miskin yang memerlukan pertolongan. Karena doa merekalah, risiko atau bala bisa dielakkan. Dan agar dana kekayaan itu tidak hanya berputar di antara orang yang mampu. Wallahu a’alam.