JAKARTA, Stabilitas.id – Banyak negara di dunia seperti Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), dan India, mulai mengatur, membatasi, bahkan menutup kehadiran model bisnis baru di dunia e-commerce seperti yang dilakukan TikTok melalui TikTok Shop.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki dalam acara Seminar Nasional Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XXIV Lemhannas RI Tahun 2023, yang berlangsung di Jakarta, pada Selasa (3/10/23).
“Belum lama ini, pada 25 Agustus 2023, Uni Eropa mengeluarkan Digital Service Act yang mengatur secara hukum atas konten yang diposting di platform tersebut. Aturan ini juga menerapkan cara untuk mencegah dan menghapus pos yang berisi barang, layanan, atau konten ilegal,” ungkap MenkopUKM.
Di AS, terdapat RESTRICT Act yang memungkinkan TikTok diblokir secara nasional apabila dianggap berisiko dan menjadi ancaman bagi keamanan nasional.
“Di India, mereka sudah melarang TikTok dan 58 aplikasi lain dari China dengan alasan geopolitik,” ungkap MenkopUKM.
Sebanyak 10 negara lain yang secara parsial melarang TikTok adalah Taiwan, Kanada, Denmark, Australia, Inggris, Prancis, Estonia, Selandia Baru, Norwegia, dan Belgia.
Bahkan, di China sendiri, ada aturan AntiTrust Guidelines for Platform Economy (2021) dan Anti-Monopoli Regulation of Digital Platforms (2022), yang secara spesifik melarang praktik monopoli melalui penggunaan data, algoritma, dan teknologi.
Tak hanya itu, China juga membuka keran investasi asing ketika platform domestik sudah berkembang, dibatasi dengan Great Firewall (internet censorsihip), dan harus tunduk pada Cybersecurity Law.
MenkopUKM mengakui, hal yang sudah dilakukan China dijadikan sebagai benchmark Indonesia dalam mengatur transformasi digital.
“China memagari pasar online dari produk impor dan anti monopoli,” ungkap Menteri Teten.
Di antaranya, pertama, pembatasan penjualan di e-commerce dengan nilai transaksi maksimal 10 juta per pengiriman dan 54 juta per tahun untuk tiap pelanggan.
Kedua, produk impor yang dijual e-commerce crossborder harus melalui bea cukai dan pajak impor dengan nilai 70 persen dari impor normal.
Ketiga, larangan menjual harga di bawah biaya (HPP) dengan denda yang cukup besar 0,1 – 0,5 persen dari omzet penjualan tahunan dan dapat dihentikan operasi bisnisnya.
“Keempat, di China, barang impor di pasar online wajib mematuhi regulasi penjualan produk impor, seperti sertifikasi, ISO Manufaktur, serta Labeling,” lanjut Menteri Teten.
MenkopUKM menyebutkan, revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 menjadi Permendag 31/2023 memuat ketentuan yang tidak memperbolehkan adanya penyatuan platform media sosial dan e-commerce dalam satu platform, dengan kata lain tidak boleh platform menjual produknya sendiri, kecuali melakukan agregasi dengan UMKM dan tetap mencantumkan produsennya.
“Selain itu, harus memenuhi standar barang Indonesia dan dari negara asal barang, hingga crossborder online wajib menerapkan harga barang minimum di atas 100 dolar AS per unit,” jelas MenkopUKM.
Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa social media harus dipisahkan dengan e-commerce. Penyatuan sosial media dan e-commerce dalam satu platform memungkinkan terjadinya penggunaan data pribadi untuk tujuan-tujuan bisnis seperti market inteligent dan menciptakan permintaan, hingga melahirkan persaingan usaha yang tidak adil sehingga akan menimbulkan monopoli pasar.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Teten menjabarkan 6 Arah Tranformasi Digital di Indonesia. Pertama, industrialisasi digital dengan menyediakan perangkat lunak, kecerdasan buatan, big data, dan komputasi awan.
Kedua, digitalisasi industri, diantaranya produktivitas, kualitas dari produksi ekonomi lama dan baru. Ketiga, tata kelola digital untuk menghadirkan pemerintahan modern.
Keempat, pengembangan nilai data dengan pemanfaatan dan penentuan hak data, perlindungan data (Data Security) untuk melindungi kepentingan ekonomi dan politik. Kelima, infrastruktur jaringan internet. Keenam, pengembangan talenta digital kelas dunia.***