JAKARTA, Stabilitas.id – Terdapat empat pokok pengaturan dalam draf RUU Perkoperasian yakni terkait tata koperasi yang baik, pengawasan, sanksi, dan perlindungan anggota.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Henra Saragih pada acara Pengumpulan Aspirasi dan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, di Surakarta, Jawa Tengah, beberapa hari yang lalu.
Henra menjelaskan dari keempat hal tersebut, yang pertama yakni terkait tata kelola koperasi yang baik dan bisa relevan dengan kemajuan zaman kekinian.
“Ini menyangkut akuntabilitas dan transparansi, dimana laporan dan publikasi rutin, serta laporan keuangan koperasi, menggunakan Akuntan Publik,” ungkap Henra.
Di dalam poin ini mencakup pengaturan asal-usul dana, jika ingin mengubah AD/ART akan dimintakan siapa sebenarnya pemilik manfaat dari koperasi tersebut.
Ini penting, karena ketika ada permasalahan terjadi di koperasi, dapat dengan mudah untuk dideteksi siapa pemilik manfaat.
“Pemilik manfaat bukan berarti dia ada dalam legal dokumen saja. Tapi, bisa juga anggota atau _silent member_, tapi memiliki peran sangat strategis dalam mengendalikan koperasi,” lanjut Henra.
Kedua, terkait pengawasan, akan diatur terkait penyalahgunaan usaha simpan pinjam untuk praktik rentenir dan pinjaman online (pinjol) ilegal yang menghimpun dana masyarakat secara bebas. Untuk itu, akan dibentuk lembaga pengawas khusus Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
Selanjutnya, yang ketiga, pengaturan terkait dengan sanksi bagi koperasi bermasalah atau tidak sesuai dengan ketentuan UU.
“Selama ini, untuk menangani koperasi bermasalah, pihak Polri agak kesulitan dalam mengenakan aturan pidana yang sesuai,” jelas Henra.
Keempat, menyangkut perlindungan anggota koperasi dan penjaminan. Saat ini, KemenKopUKM sedang menangani 8 koperasi bermasalah yang jumlah kerugiannya sekitar Rp30 triliun.
“Ini tidak ada perlindungan dan jaminannya. Serupiah pun tidak ada. Kita coba atur itu, apakah kita akan merujuk ke LPS perbankan, misalnya,” ungkap Henra.
Oleh karena itu, Henra berharap pada partisipasi publik dan stakeholder agar saat RUU menjadi UU tidak menjadi pertentangan di kalangan masyarakat hingga berproses ke Judicial Review.
“Kita akan meminimalisir itu terjadi lagi, seperti halnya yang pernah terjadi pada UU Nomor 17/2012 tentang Perkoperasian,” tutup Henra.***