JAKARTA, Stabilitas.id – Menjaga momentum pertumbuhan ekonomi harus terus diupayakan untuk menghindari terjadinya stagflasi.
Dikarenakan potensi stagflasi bisa terjadi apabila pada sisa kuartal tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia berturut-turut berada di bawah lima persen, bersamaan dengan meningkatnya inflasi.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad dalam Virsem LPPI bertajuk Mengelola Inflasi dan Mengantisipasi Stagnasi Ekonomi pada Kamis (4/8/22).
“Meski tidak separah negara lain, dalam kondisi inflasi meningkat tajam dan pertumbuhan turun, walaupun relatif kecil, potensi stagflasi bisa terjadi,” ungkap Tauhid
Tauhid berharap anggaran fiskal terus dioptimalkan untuk menjadi bantalan dan menjaga daya beli masyarakat dari adanya berbagai gejolak di tingkat global.
Menurutnya, upaya menjaga daya beli masyarakat menjadi krusial karena merupakan pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang kemudian baru diikuti investasi dan perdagangan internasional.
“Bagaimana sekarang untuk pro growth dibanding menjaga inflasi, ini menjadi satu dilema,” ungkap Tauhid.
Ia juga berharap pemerintah terus menjaga neraca perdagangan agar tetap surplus sehingga dapat menjaga momentum pertumbuhan ini. Pasalnya, momentum kenaikan harga komoditas global yang terjadi pada saat ini harus terus dioptimalkan, mengingat sewaktu-waktu harga bisa kembali normal.
“Surplus ini karena nilai komoditas per satuannya meningkat tajam. Jadi nilainya, bukan karena volume, ini harus dijaga momentumnya,” ujar Tauhid.
Selanjutnya, Tauhid juga menyatakan dukungannya pada upaya Bank Indonesia (BI) yang masih mempertahankan BI7DRR di level 3,5 persen pada Juli kemarin, sehingga momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
“Bagaimana menjaga investasi masyarakat tetap tumbuh melalui suku bunga pinjaman, konsumsi, investasi tetap rendah,” ujar Tauhid.
Namun, Tauhid mengingatkan angka inflasi saat ini sudah semakin tinggi. Karena angka inflasi tahunan pada Juli 2022 telah mencapai 4,94 persen (yoy) atau tertinggi sejak Oktober 2015.***