LABUAN BAJO, Stabiltias.id – Kementrian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) akan membangun ekosistem tenun di Manggarai Barat, sebagai pusat ekonomi dan kreativitas dari para penenun di wilayah tersebut. Salah satu konses KemenkopUKM adalah dengan menerapkan penggunaan pewarna alami dari tumbuhan, sebagai langkah melindungi alam dan membangun usaha berkelanjutan (sustainability).
“Kita mau bangun ekosistem tenun di Manggarai Barat. Khususnya di Desa Perang ini kita akan membangun eco fashion dengan pewarna alami. Dengan demikian tidak lagi menggunakan pewarna kimia yang rata-rata diimpor. Sekarang kita ambil dari daun-daunan, betul-betul alam. Ada dari kulit kayu yang dimasak, ada warna merah, kuning, coklat, hitam,” ungkap Asisten Deputi Pengembangan Ekosistem Bisnis KemenKop UKM RI Irwansyah Panjaitan kepada Stabilitas, Jumat (22/7/2022).
Irwansyah menjelaskan, untuk mewujudkan eco fashion ini, Kementrian Koperasi dan UKM akan memberikan pendampingan, pelatihan, serta bantuan alat pendukung seperti benang, hingga desainer. Sementara alat tenun sendiri akan memberdayakan alat-alat yang sudah dimilki oleh penenun di Desa Perang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
“Kita akan mengajari cara baru menggunakan pewarna alami. Sehingga ketergantungan dengan daerah lain dalam hal bahan baku bisa dikurangi dengan cara menggunakan pewarna alami. Jadi kita hanya menyuplai benang saja,” urai Irwansyah.
Menurutnya, cara baru bertenun dengan konsep eco fashion ini sejatinya juga melindungi alam. Sebabnya, alam tidak akan tercemar lagi dengan limbah yang sebelumnya digunakan dari pewarna berbahan kimia. “Padahal daun-daun di Flores sangat-sangat luar biasa potensinya, apalagi wilayahnya pegunungan,” imbuhnya.
Sementara itu, KemenopUKM juga mengusung konsep living desainer. Nanti untuk desainer yang didatangkan KemenkopUKM akan tinggal di Lembor bersama penenun di desa Perang. “Jadi pemberdayaan masyarakat yang kita utamakan. Penenunnya tidak bawa ke hotel, tetapi kita langsung datang ke kampung halaman mereka, kita beri pelatihan dari pagi hingga malam,” pungkas Irwansyah.
Selanjutnya, pelatihan yang diberikan akan menyeluruh. Mulai dari pemilihan bahan pewarna alami, kemudian latihan mewarnai, menjemur, hingga cara bertenun yang baik. Sejauh ini secara resmi tercatat sebanyak 30 penenun yang ada ri desa Perang. Namun, Irwansyah menyebutkan antusiasme masyarakt desa Perang sangat tinggi untuk turut serta dalam pelatihan tersebut. “Jadi kami berharap ini nanti bisa menjadi komunitas tenun alami di Manggarai Barat.”
Irwansyah menegaskan pembentukan komunitas ini sangat penting untuk tujuan merawat sutainabilty penenun secara bersama-sama. Mengingat soal sutainabilty ini menjadi tantangan utama sebab ada risiko ketika para ibu-ibunya penenun sudah sepuh, dikhawatirkan anak-anak mereka tidak memilki kemampuan bertenun.
“Untuk itu kita ajak juga anak-anak SMP dan SMA juga untuk belajar. Nanti kita bagi peran, ada bagian marketing, promosi, ada yang khusus untuk pewarna, dan juga fokus untuk bertenun. Kita ajak semua sehingga jangan ibu-ibu saja yang terlibat. Anak-anak dilibatkan supaya berkelanjutan usaha bertenun ini,” tutup Irwansyah.***