JAKARTA, Stabilitas.id – Deputi Bidang Perkoperasian Kementrian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi memberikan rekomendasi pengembangan minyak makan merah (Red Palm Oil) menjadi solusi dalam mengatasi masalah, isu ketersediaan dan harga minyak goreng yang terjadi di Indonesia saat ini. Hal ini diungkapkan pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Pengelolaan Minyak Goreng Oleh Koperasi: Tantangan dan Peluang, di Jakarta, pada Selasa (17/5/22).
Zabadi juga mengatakan bahwa, produksi dan pengolahan minyak makan merah akan menciptakan nilai tambah yang tinggi bagi petani melalui skema korporatisasi pangan berbasis koperasi.
FGD ini di ikuti oleh staf dan kepala bagian dari berbagai lembaga dan kementrian secara langsung maupun online. Beberapa yang hadir secara online diantaranya adalah Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementan RI Prof Agus Pakpahan dan Ketua Kelompok Peneliti dan Manajer Inovasi OPSTP PPKS Frisda Panjaitan.
Rekomendasi lainnya, minyak makan merah memiliki kandungan nutrisi/vitamin tinggi, yang sehat dan dapat digunakan sebagai solusi atas gizi buruk/stunting dan penyediaan nutrisi bagi masyarakat umum.
Rekomendasi keempat, lahan sawit rakyat tersebar di berbagai provinsi Indonesia yang perlu dikonsolidasi dan dioptimalisasi bagi kepentingan petani serta peningkatan produk lokal.
Kelima, pengembangan minyak makan merah menggunakan teknologi tepat guna sehingga dapat dikembangkan dan dikelola berbasis komunitas dengan skala investasi yang terjangkau dan dapat didesentralisasi di berbagai wilayah/regional.
“Rekomendasi keenam, pengembangan minyak makan merah membutuhkan skema standarisasi tertentu, di luar standar SNI minyak goreng pabrik,” ungkap Zabadi.
Berdasarkan dari rekomendasi tersebut, stakeholder yang hadir dalam acara pun menyepakati beberapa hal. Pertama, mengarusutamakan pengembangan, pengolahan dan penggunaan minyak makan merah bagi koperasi dan UMKM di Indonesia.
Kedua, membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengolahan Minyak Makan Merah oleh Koperasi. Ketiga, membangun agenda aksi bersama untuk mengimplementasikan pengolahan minyak makan merah oleh koperasi dalam skala komersial.
“Keempat, membuat pilot project di beberapa wilayah di Indonesia sampai akhir tahun 2022,” papar Zabadi.
Oleh karena itu, Zabadi menekankan bahwa Perkebunan Sawit Rakyat yang masih dikelola petani swadaya kecil dengan kepemilikan lahan sekitar 2-4 hektar, dapat berkelompok membentuk kelompok tani, hingga akhirnya dapat mendirikan koperasi sebagai wadah konsolidasi lahan dan petani.
“Itu harus segera dipetakan. Kemudian, kita dampingi. Sehingga kemandirian para petani sawit untuk memiliki bargaining position dalam industri sawit skala kecil dapat diwujudkan,” ungkap Zabadi
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM (Online Data System/ODS), ada sekitar 454 koperasi sawit di Indonesia dan mayoritas ada di provinsi Riau, yang memang dari presentasi luasan lahan dan kapasitas produksi terbesar, yaitu sekitar 23,57% dari total areal lahan sawit di Indonesia.
salah satu koperasi di provinsi Riau yang secara mandiri telah mengelola kebun sawit seluas 1.562 hektar bersama sekitar 781 petani anggotanya, yaitu KUD Sumber Makmur di Kabupaten Pelalawan, Riau. Selain itu, juga ada KSPPS BMT UGT Sidogiri yang akan mendirikan koperasi sawit di Kabupaten Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
“Untuk itu, dua koperasi tersebut dapat dijadikan pilot project pembangunan industri sawit rakyat,” tegas Zabadi.
Zabadi juga menjelaskan secara umum, kapasitas produksi Crude Palm Oil (CPO) dari TBS untuk 1-5 ton per jam termasuk skala mini, kapasitas rata-rata 5-20 ton per jam masuk skala menengah, dan kapasitas 30 sampai 60 ton per jam adalah skala besar. Dari produksi CPO ini masih diperlukan proses fraksinasi dan proses lainnya sehingga dapat dihasilkan minyak goreng.
“Penelitian dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Riset Perkebunan Nusantara (RPN) ini yang perlu kita implementasikan untuk kemudian kita menemukan skala keekonomian dari produksi minyak goreng oleh koperasi,” papar Zabadi.
Kehadiran Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga diharapkan dapat secara khusus mengawal proses standarisasi minyak goreng skala koperasi dan UMKM ini. Sehingga, masyarakat bisa mendapatkan pilihan yang rasional dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng yang sehat dan terjangkau.
Sehubungan dengan itu, Deputi Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN Zakiyah menegaskan bahwa pihaknya akan mendukung koperasi dan UMK dalam menghadirkan produk berkualitas dengan pertimbangan kesehatan masyarakat dan lingkungan. “Kita dukung program KemenkopUKM dalam mendorong koperasi, juga usaha mikro dan kecil, memiliki industri minyak goreng sawit sendiri,” ujar Zakiyah.
Zakiyah menjelaskan, sebelum diwajibkan SNI, harus terpenuhi dulu hasil analisa riset dan adanya teknologi yang sudah memungkinkan. “Kita memiliki program Bina UMK dimana ada pendampingan bagi UMK untuk mendapatkan SNI,” ucap Zakiyah.
“BSN siap bekerjasama untuk menghasilkan standarisasi minyak goreng merah,” tegas Zakiyah.
Untuk itu, Zakiyah mengajak seluruh stakeholder untuk berkolaborasi dalam penerapan standarisasi bagi UMK dengan proses yang simpel dan mudah. Ada kemudahan SNI untuk UMK risiko rendah. Mulai dari komitmen diaplikasi OSS-BKPM, aplikasi OSS, hingga Monev Online.***