JAKARTA, Stabilitas.id – Sejak awal pandemi melanda Indonesia dua tahun lalu, pemerintah bersama regulator sektor keuangan telah bekerja sama menangani dampak dari merebaknya Covid-19 hingga menjadi krisis ekonomi. Otoritas fiskal, otoritas moneter, dan pengawas sektor keuangan telah banyak mengeluarkan kebijakan penanganan dampak pandemi.
Pemerintah telah mengambil keputusan memperbesar defisit anggaran dengan lewat Undang-undang. Bank Indonesia juga telah melakukan banyak langkah kebijakan terkait dengan pelonggaran kebijakan moneter, burden sharing pembiayaan APBN, terkait pembiayaan penanganan pandemi Covid-19. Otoritas JAsa Keuangan juga telah menerbitkan berbagai relaksasi kebijakan. “Alhamdulilah ini semua bisa diterima dengan baik oleh dunia internasional, oleh financial market, papar Mirza Adityaswara, Direktur Utama LPPI dalam Virtual Seminar LPPI ke-72, Kamis (7/4/2022).
Kini sedikit demi sedikit situasi ekonomi mengalami perbaikan secara gradual dan cukup solid, mengalami pemulihan ekonomi baik di sektor ril maupun sektor keuangan. Maka dari itu, saat ini baik otoritas fiskal dan moneter di seluruh dunia mulai menyiapkan exit strategy pasca pandemi ini. “Bagaimana dari sisi kebijakan fiskal, bagaimana kita kembali ke defisit di bawah 3 persen. Bagaimana dengan exit strategi di BI, menyesuaikan dengan apa yang terjadi di Internasional, The Federal Reserve telah menaikan suku bunga, BI sudah mengumumkan peningkatan sedikit demi sedikit tentang Giro Wajib Minimum. Juga bagaiamana exit strategy dari OJK terkait dengan relaksasi di sektor perbankan seperti pencadangan dan kredit restrukturisasi, dan sebagaimnya, pungkas Mirza.
BERITA TERKAIT
Febrio Kacaribu, Kepada Badan Kebijakan FIskal (BKF) Kementerian Keuangan pada kesempatan virsem LPPI itu mengatakan, Indonesia saat ini merupakan salah satu negara yang relatif sangat baik dalam mengelola pandemi.
Dia mengungkapkan, di 2020, kontraksi perekonomian Indonesia hanya 2,1 persen, di tengah-tengah banyak negara mayoritas kontraksi ekonominya minus double digit, bakkan ada yang minus 15 hingga minus 20 persen. “Kita belajar banyak dari tahun 2020 dan 2021, dan kalau dibandingkan dengan negara kawasan, kebetulan hari ini saya ada meeting dengan negara-negara ASEAN, Indonesia adalah negara yang paling berhasil mengelola pandemi. Baik dari sisi keuangan negara, perekonomian, hingga dalam melindungi masyarakatnya, jelasnya.
Memasuki tahun 2021, tantangannya memang lebih berat dari sebelumnya. Perekonomian kita di 2021 memang mengalamai pemulihan dengan kuat. Namun di akhir kuartal I 2021 Indonesia kembali mengalami lonjakan kasus covid-19. “Perekonomian kita waktu itu minus 0,7. Kemudian kita berhasil rebound yang sangat kuat dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua 7,1 persen. Jadi ada delta yang sangat kuat dampaknya, kalau oksigen yang sulit dicarai saat itu, tetapi kita bisa tahan ekonoinya dan bisa tumbuh di 3,5 persen. Lalu di kuartal empat, kita tumbuh 5 persen. Keseluruhan 2021 kita tumbuh 3,7 persen, turunya.
Risiko Baru
Ketika memasuki tahun 2022, lanjutnya, semua pihak sadari pemulihan terus berjalan dan semakin kuat. Namun tiba-tiba terjadi gejolak geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Harga komoditas melonjak tajam. Inilah tantangan berat buat Indonesia saat ini. Tadinya kita sudah siap, setelah belajar berbagai tantangan di dua tahun lalu, pertumbuhan ekonomi kita diproyeksikan 5,2 persen di akhir tahun ini, papar Febrio.
Dalam konteks sekarang, jelas Febrio, jika berbicara mengenai exit strategy berdasarkan pengalaman atau tantangan pada 2020 dan 2021 maka boleh dibilang kebijakan Indonesia relatif yang paling kredibel di seluruh dunia. Sebab, lanjutnya, di banyak negara, bahkan sebelum krisis Ukraina, banyak negara belum yakin untuk kembali ke kondisi ekonomi saat pra pandemi. Indonesia termasuk sedikit negara yang sudah kembali ke level ekonomi 2019, sebelum pandemi.
Berbekal hal itu dengan proyeksi pereknomian tumbuh 5,2 persen di akhir 2022, menurut Febrio, pengangguran juga akan turun. Dia menguraikan angka pengangguran Indonesia berada di angka 5,23 persen sebelum pandemi, lalu naik tajam ke 7,07 persen di 2020. Tetapi Indonesia berhasil dengan kebijakan yang well targeted, yakni PEN sehingga di 2021 berhasil menurunkan tingkat pengangguran ke 6,49 persen, kendati masih di atas 2019.
Maka di 2022 dengan perekonomian yang terlihat akan sangat kuat, dan kita harus menurunkan lagi pengguran ke angka yang lebih rendah lagi yakni 5,23 persen. Jadi bisa kembali ke angka sebelum pandemi, ungkap Febrio.
Di sisi lain, tingkat kemiskinan juga diharapan bisa diturunkan dari 10,2 persen di 2020 menjadi 9,7 di 2021. Nah ini sudah hampir mendekati angka pra pandemi, sehingga kita harapkan di 2022 ini kita harusnya sudah bisa kembali level 9,2 sebelum pandemi. Karena apa, karena PEN kita tadi disiapkan untuk UMKM dan rumah tangga, tegas Febrio.
Saat ini, dengan berbagai tantangan kenaikan harga komoditas, menurut Febrio, strategi pemerintah tetap sama. Yakni melindungi masyarakat miskin dan rentah, memastikan daya beli mereka kendati harga-harga meningkat.
Dalam virsem yang sama, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo mengatakan, munculnya krisis Ukraina memberi dampak tersendiri bagi proses pemulihan ekonomi secara glonal. Sebab proses recovery yang terjadi dan diyakini akan lebih baik dari tahun 2021, menurut Budi mungkin akan ada bias ke bawah. Artinya ada yang menghambat exit strategy yang telah disusun bersama, salah satunya dalam Presidensi G20 belum lama ini.
Dody menyebutkan, yang akan berdampak ke semua negara dari adanya konflik Ukraina adalah dari jalur perdaganan. Kendati nilai perdagangan Ukraina hanya tiga persen terhadap global, sebutnya, namun jika melihat dampak tidak langsung, akan meluas. Hal ini menurut Budi yang mempengaruhi outlook baru dari pada IMF, yang dalam dua minggu dari sekarang akan diumumkan.
“IMF merevisi pertumbuhan ekonomi global dari 4,4 persen ke arah bawah, mingkin di bawah 4 persen. Ekspor yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi kita dalam beberpa kuartal terakhir ini akan menjadi tantangan dari sisi permintaanya. Karena volume demand terpengarih kita negara-negara lain mengoreksi pertumbuhanya. Inilah tantangan kita di tengah harga komoditas yang tinggi, jelas Budi.
Dia menambahkan, harga komoditas jangan hanya melihat dari sisi harga energi, gandum, tetapi perlu melihat dari harga komoditas lain yang berdampak tidak langsung dari akibat geopolitik ini.***