JAKARTA, Stabilitas.id – Sektor perbankan di dalam menggerakan roda perekonomian Indonesia telah berkontribusi hingga 35 persen ke PDB Indonesia. Meski bukan merupakan yang terbesar, namun pembiayaan perbankan mendominasi penciptaan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Sektor perumahan sebagai bagian terpenting dari pembiayaan perbankan tentu menjadi andalan dalam mendorong perekonomian menjalani proses pemulihan dari pandemi.
Demikian dikatakan Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Mirza Adityaswara dalam virtual seminar LPPI ke-71 (Virsem LPPI#71) dengan tema Optimalisasi Housing Finance untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi, pada Kamis (31/3/2022).
“Jadi kalau kredit perbankan itu menguasai 35 persen dari ekonomi Indonesia, maka sektor consumer loan itu sepertiganya, katakanlah 10-12 persen dari PDB Indonesia. KPR dalam consumer loan menjadi salah satu yang terbesar,”ungkap Mirza.
Namun dalam hal housing finance Indonesia, ada pekerjaan rumah yang sangat besar yaitu terkait tingginya angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) rumah di Indonesia.
Kementrian PUPR mencatat angka backlog rumah kini bertambah menjadi 12,75 juta. Padahal sebelumnya sering disampaikan pemerintah bahwa angka backlog rumah mencapai 11,4 juta.
Tingginya kebutuhan memiliki rumah menurut Mirza, tidak seimbang dengan pendanaan yang ada untuk perumahan. Adapun backlog perumahan yang terus meningkat, terutama meingkatnya permintaan perumahan untuk segmen menengah bawah.
“Tentu kebutuhan masih besar sekali karena penduduk usia muda juga sangat besar jumlahnya. Setiap tahun kebutuhan untuk memilki rumah selalu ada, maka pendanaan perumahan menjadi kebutuhan yang besar di Indonesia,” pungkas Mirza.
Memang, pendanaan dari perbankan untuk KPR, di satu sisi memerlukan dukungan pendanaan bagi bank, seperti tabungan, deposito, giro. Namun belum sepenuhnya aman untuk memenuhi pendanaan KPR bagi masyarakat.
Lantas bagaimana caranya untuk meningkatkan pendanaan bagi perumahan?
Menurut Mirza, tentu diperlukan adanya suatu perputaran kredit dengan pasar yang sudah ada. Seperti praktek di negara maju, ada pasar yang memperjual belikan kredit perumahan yakni secondary mortgage.
Di Indonesia, sejatinya sudah mulai ada ide tersebut (pasar secondary mortgage). Ini sudah didorong, tetapi merurut kami belum berkembang dengan baik. Mungkin perlu pelonggaran regulasi, atau regulasi baru, atau bantuan dari berbagai stakeholders, kementrian/lembaga, dan juga tentu dari perbankan dan lembaga pembiayaan,” jelas Mirza.
Seperti diketahui, Indonesia memilki perusahaan yang menyediakan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan yakni SMF (Secondary Mortgage Facilities), dengan peran sebagai lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha di bidang pembiayaan sekunder perumahan.
Erica Soeroto, Pengamat Pembiayaan Perumahan dalam kesempatan Virsem LPPI itu mengatakan, untuk pendanaan peruamah, bank atau lembaga keuangan dapat melakukan penghimpunan dana jangka panjang dapat dilakukan melalui pasar modal atau tabungan wajib.
“Sebelum tentukan pilihan, terlebih dahulu harus dianalisis biaya dan manfaatnya, terutama bagi masyarakat. Hal ini penting karena kunci keberhasilan sistem tersebut, adalah efisiensi, demi tercapainya keterjangkauan,” kata mantan Dirut SMF itu.
Menurutnya, sistem pembiayaan perumahan di Indonesia belum efisien. Sebabnya, tingkat kesejahteraan masyarakat rendah memaksa tingkat bunga tinggi, tidak terjangkau, sehingga masih perlu subsidi. Dampaknya, volume KPR relatif kecil.
“Dominasi perbankan yang rentan terhadap berbagai risiko karena sumber dananya jangka pendek. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi tingkat suku bunga, sehingga KPR menjadi semakin tidak terjangkau,” katanya.
Dia menambahkan, selisih antara tingkat suku bunga pasar dengan tingkat bunga yang terjangkau, masih cukup tinggi. Hal ini terjadi terutama spread perbankan yang relatif tinggi dan sistem pembiayaan perumahan yang tidak berfungsi dengan baik sehingga kondisi pasar tidak efisien.
“Agar terjangkau, Pemerintah memberikan subsidi. Ketergantungan pada subsidi akan terus berlanjut selama sistem belum efisien,” jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Erica, bank berhak menetapkan tingkat bunga baru, sehingga risiko perubahan bunga menjadi beban konsumen. Di sisi lain, KPR cair sebelum rumah siap huni. DP 0% tanpa mitigasi risiko, lalu penyalur KPR terbatas, konsumen cenderung membeli rumah secara angsuran dari developer. “KPR demikian cenderung menunda risiko,” pungkas dia.
Di kesempatan yang sama Agus Sulaeman, Direktur Pengembangan Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Pembiayaan Kementrian PUPR mengatkaan bahwa saat ini program pembangunan perumahan masih fokus pada rumah yang dibangun secara formal, yakni oleh developer dan dijual kepada masyarakat.
Di sisi lain, populasi pekerja di Indoneia didominasi oleh pekerja di sektor non formal, yakni hampir 60 persen, menurut data Susenas.
Tantangan lain adalah bahwa berdasarkan survey Bank Dunia 2020, bahwa dari 26% yang disurvey menginginkan perbaikan rumah, sisanya 74 persen ingin membangun rumah di tanah sendiri. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan program yang ada di pemerintah dengan pendekatan secara formal.
Di 2019, rumah layak huni 56,75 persen. Sementara target 5 tahun ke depan naik jadai 70 persen, atau penambahan sebanyak 13,25 persen menjadi 11 juta rumah. Namun program yang disedikana secara formal sebanyak 3,4 juta rumah, sedangkan yang dilakukan secara swadaya hanya sekitar 800 ribuan rumah.
“Jadi ada gap yang luar biasa untuk penyediaan perumahan antara yang formal dengan yang swadaya, khususnya bagi pekerja informal,” jelas Agus pada Virsem LPPI itu.
Maka ke depan, lanjtut Agus, pemerintah berencana untuk menggeser pembiayaan perumahan untuk segemn informal. Namun untuk mewujudkan hal itu butuh waktu.
Agus mengakui bahwa di sektor perumahan, KPR sektor properti baru menyumbang sektor 2,8 persen ke PDB. Angka ini tertinggal jauh dengan Malaysia, Singapura, India, yang memilki sumbangan KPR ke PDB negaranya sudah di atas 11 persen, bahkan di atas 20 persen.
“Kita memang dihadapkan dengan kondisi backlog perumaham, baik dari sisi kepemilikan yakni 12,7 juta rumah tangga, maupun kepenghunian yang masih di angka 6,9 juta rumah tangga. Dua-dauanya Jawa Barat yang menjadi juaranya,” ungkap Agus. ***