JAKARTA, Stabilitas.id – Untuk kesekian kali aturan yang diterbitkan pemerintah tuai reaksi. Kali ini, giliran peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) telah memancing beragam reaksi, terutama pemangku kepentingan utamanya yakni tenaga kerja, pegawai, atau buruh.
Salah satu reaksi yang menjadi sorotan adalah petisi penolakan. Hingga Selasa (15/2/2022), jam 15.07 WIB petisi dukungan atas penolakan sudah ditandatangani oleh 389.542 orang.
Target dari petisi tersebut hingga setengah juta orang. Jika mencapai target, maka petisi ini akan dinobatkan sebagai salah satu petisi paling banyak mendapat tanda tangan di situs Change.org.
Beragam reaksi yang bermunculan usai peraturan yang ditetapkan pada 2 Februari 2022 bermula dari pasal 2 dan 3. Dimana di dalam pasal 2 peraturan yang ditandatangani oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah tercantum kalimat; manfaat JHT dibayarkan kepada Peserta jika: a. mencapai usia pensiun; b. mengalami cacat total tetap; atau c. meninggal dunia.
Kemudian pada pasal berikutnya, yakni pasal 3 disebutkan; yang dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, diberikan kepada Peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.
Nah, pada bagian itulah yang menjadi pemicu beragam reaksi. Pasalnya, di dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, peraturan yang sudah dicabut, tidak mengatur tentang batasan usia pencairan JHT.
Jadi, bisa ditafsirkan, peserta bisa mencairkan JHT sebelum usia pensiun. Misalnya berhenti karena mengundurkan diri.
Sementara dalam kedua pasal tersebut jelas tercantum usia yang dimaksud. Maka, pemahaman yang berkembang yang menimbulkan reaksi, tabungan baru bisa dicairkan setelah peserta mencapai usia 56 tahun.
Sementara Kemenaker mengklaim JHT merupakan program jangka panjang yang dananya memang hanya bisa diambil ketika peserta memasuki masa pensiun dan sudah melalui proses dialog dengan pemangku kepentingan terkait.
“Sesungguhnya terbitnya Permenaker ini sudah melalui proses dialog dengan stakeholder ketenagakerjaan dan kementerian dan lembaga terkait,” ujar Kepala Biro Humas Kemeterian Ketenagakerjaan, Chairul Fadhly Harahap.
Ia juga menjelaskan, bahwa JHT berasal dari akumulasi iuran wajib dan hasil pengembangannya. “Program JHT merupakan program perlindungan untuk jangka panjang,” kata Chairul melalui Siaran Pers Biro Humas Kemnaker pada Sabtu (12/2).
Meskipun tujuannya untuk perlindungan di hari tua (yaitu memasuki masa pensiun), lanjut Chairul, atau meninggal dunia, atau cacat total tetap, di dalam UU SJSN memberikan peluang bahwa dalam jangka waktu tertentu, bagi peserta yang membutuhkan, dapat mengajukan klaim sebagian dari manfaat JHT-nya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila Peserta telah mengikuti program JHTpaling sedikit 10 tahun.
Dengan besaran sebagian manfaatnya yang dapat diambil yaitu 30 persen dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah, atau 10 persen dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun.
Dalam PP tersebut, jelas Chairul, juga telah ditetapkan bahwa yang dimaksud masa pensiun tersebut adalah usia 56 tahun.
“Skema ini untuk memberikan pelindungan agar saat hari tuanya nanti pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi kalau diambil semuanya dalam waktu tertentu, maka tujuan dari perlindungan tersebut tidak akan tercapai,” ujar Chairul.*** (Yudy)