Arief M Utama, Country Partner for Financial Services, Cloud & Digital Transformation IBM Indonesia
ZAMAN sekarang adalah zamannya digital acceleration, bagaimana kita bergerak dan survival menjadi thrive dalam dunia digital saat ini. Kita sepertinya juga bergerak ke arah yang disebut virtual enterprise.
Akselerasi digital ini menjadi sesuatu yang menarik di masa pandemi dan post pandemi ini. Kita lihatnya sekarang bukannya digital transformation karena itu adalah fase sebelumnya dimana kita melihat memang ada kebutuhan bertranformasi secara digital. Kita melihatnya bukan lagi apakah perlu go digital atau bagaimana kita bertransformasi digital, tapi sudah ke arah bagaimana kita harus sudah mengakselerasi digital itu sendiri.
Di IBM kami punya sebuah institut riset namanya IBM Institute for Bussines Value. Dimana k kami rutin mengadakan interview, mengadakan diskusi dan analisis dengan CIO, CEO, CXO perusahaan-perusahaan di seluruh dunia. Dari hasil interview itu kami lakukan analisis, kami lihat performa masing-masing perusahaan, kami ambil data-datanya, kami kumpulkan lalu kami buat analisis-analisis rutin.
Nah, salah satu yang kita dapatkan di dunia saat ini di post pandemic situation, bahwa itu organisasi-organisasi banyak sekali yang tetap maju, tetap outperform keadaannya. Bahkan improvement-nya bisa sampai 6 persen hingga 16 persen. Pertumbuhan ini jelas di atas rata-rata industri manapun di masa pandemi ini. Sektornya tersebar dari consumer produk sampai retail, bahkan ada yang dari perbankan. Kita tahu perbankan adalah sector yang sangat tertantang di masa pandemi ini, bisa dilihat dari sisi NPL, kredit, pendanaan dan lainnya. Namun ternyata sektor ini masih bisa tumbuh 5 persen secara global.
Kenapa mereka bisa melakukan itu? Berdasarkan data kita, mereka semua yang bisa tumbuh di masa pandemi adalah mereka yang sebelumnya berinvestasi luar biasa di bidang teknologi. Mereka melakukan hal yang kita sebut accelerating digital.
Ini bukan lagi bicara transformasi digital bagaimana caranya tapi sudah aggresivelly lets go digital. Kita juga bisa lihat bahwa antara sebelum munculnya Covid-19 dan setelah Covid-19, fokus teknologinya itu berbeda. Kalau sebelum pandemi Covid-19 fokus teknologi lebih ke arah implementasi kepada hal-hal seperti analitik, seperti IoT (internet of things), proses robotik dan seterusnya, beberapa sudah pindah fokus. Kalau cloud dulu hanya bergerak di infrastruktur, sekarang teknologi ini menjadi focus teknologi yang sedang dilihat. Demikian juga dengan mobile dan AI (artificial intelligence). Kita lihat bahwa data dan AI itu yang kini punya very big role
Teknologi cloud dan AI ini, berdasarkan survei dari responden-responden kami, 74 persen dari mereka menggunakan hybrid cloud bukan hanya untuk digitalisasi, bukan hanya untuk supporting automation dari critical business process, tapi juga untuk improving security. Ini sangat menarik. Kemudian 60 persen atau 6 dari 10 organisasi, aggresively mengimplementasikan AI, bukan hanya untuk meningkatkan customer experience, artinya keluar perusahaan, tapi juga untuk menganalisis dan improving performance perusahaan itu sendiri.
Ini ada lagi temuan dari survey kita pada perusahaan di Eropa. Kita membagi mereka menjadi empat kategori yang kita sebut survive, revive, renew dan thrive.
Kita lihat challenge yang mereka hadapi. Dalam menghadapi challenge itu mereka semua focus pada terutama sekali di teknologi. Digitalisasi. Kita lihat di masa awal-awal pandemi kemarin sekitar 88 persen dari enterprises itu percaya bahwa kalau tidak ada teknologi, mereka tidak akan berhasil menghalau pandemi tersebut. Jadi kalau tidak ada tenologi yang namanya working from home, working remotely atau digital experience, maka day to ay operation tidak bisa berjalan.
Kemudian yang kita juga lihat menarik adalah kita tidak bisa lagi fokus hanya ke value chain kita masing-masing. Jadi kita harus melihat perusahaan kita ada di bagian mana dalam global value chain. Jadi selain melihat ke diri sendiri bagaimana caranya agar kita survive, kita juga mencari cara untuk improving.
Setelah kita berhasil survive maka kita akan memasuki masa revive dengan mengajukan pertanyaan, hal-hal apa saja yang harus kita pertahankan dan bahkan dilanjutkan pengembangannya dari fase sebelumnya. Yang pada akhirnya cara-cara itu dikembangkan dan diperbarui sesuai kebutuhan zaman dan kemudian hal itu thrive atau menjadi pola atau budaya baru. Yang tentunya dengan memanfaatkan teknologi dan AI.
Terkait isu leadership di era data dan Artificial Intelligence (AI) saya kembali akan berbagi data dan riset yang telah IBM lakukan dalam dua tahun belakangan ini. Kita lihat ini khususnya buat data AI. Dan kita lihat bahwa saat ini tidak ada lagi orang yang mempertanyakan kenapa mesti invest di data analitik dan AI. Semua orang telah sepakat, kita semua menuju data driven
Berdasarkan riset kita dari interview total 13 ribu C level individu dan juga enterprise di seluruh dunia, didapatkan kesimpulannya bahwa data itu penting. Semua perlu innovate semua membutuhkan data tapi juga kita harus memastikan ada trust di situ.
Berdasarkan data riset, kami membagi perusahaan menjadi empat kategori berdasarkan performace initiative mereka terhadap data dan AI. Ada empat stage of data and AI leadership, yang pertama kita sebut Tourcbearers, kemudian Explorer, Builders dan terakhir Aspirational.
Perbedaan dari masing-masing kategori itu adalah dari sisi maturity mereka di implementasi, inovasi ataupun strategi perusahaan mereka yang didasarkan oleh penggunaan data. Dari data kami terihat bahwa 50 persen perusahaan-perusahaan dalam riset kami itu berada pada tahapan aspirational dan builders. Mereka masih membangun kapability datanya. Infrastruktur data dan AI baru mulai ada, sedang dibangun, fokus utama masih ke arah enabling. Bagaimana enabling secara infrastruktur, secara operasional, dan seterusnya
Kemudian kelompok explorer. Kelompok ini diisi oleh mereka yang sudah mulai masuk integrating business dan data strategy. Kemudian mereka sudah mulai memikirkan bagaimana menggali value dari data.
Nah yang paling atas adalah Torchbearers, mereka yang beradadi top performance ini jumlahnya baru sekitar 12 persen. Kelompok ini tidak lagi melihat data sebagai satu bagian dari business operation ataupun cost optimization, tapi sudah menjadi bagian dari strategi generating revenue dari data. Ini bicara bagaimana generating new produk, new services atau bahkan generating revenue dari datanya itu sendiri.
Potret lain dari data leadership itu juga mengatakan bahwa untuk kelompok Aspirational, mereka masih sedikit mengoptimalkan data dan juga masih rendah di sisi data integrasinya. Sekitar 25 persen dari perusahaan-perusahaan dunia berada dalam kelompok ini. Kemudian untuk kelompok Builders, adalah medium value from data and low integration. Namun sudah ada utilisasi data meski integrasinya pada budaya perusahaan masih terbatas. Sekitar 46 persen perusahaan yang kami survey ada pada kelompok ini. Sementara untuk Explorer dan Torchbearers, mereka sudah memiliki pemanfaatan yang tinggi pada pemanfaatan data dan juga integrasinya pada budaya perusahaan sehingga mereka mendapatkan high value dari strateginya ini.
Kelompok Torchbearer jika dibandingkan dengan Aspirational, itu fokus para CIO mereka memang lebih ke arah growing. Lebih ke arah defining enterprise stategy and vision. Mereka juga spending less time, less focus untuk cost optimization. Ini cukup menarik. Karena itu berarti mereka bukannya tidak melakukan cost optimization tapi fokus utama yang dilakukan justru adalah bagaimana meningkatkan performa kinerja perusahaan, kinerja operasional. Sehingga menghasilkan growth dan profit yang maksimal.
Kalau Aspirational pemimpin mereka lebih melihat ke arah bagaimana menggunakan data untuk optimize cost. Fokus dari taktikal ataupun strategi fokusnya lebih ke arah cost optimization. Mereka melihat data, melihat proses mana yang boros, teknologi mana yag boros dan seterusnya. Dan kemudian menghabiskan banyak waktu meng-handle itu. Nah ini salah satu perbedaan fokus dari CIO di kelompok Torchbearers dan Aspirational.
Kesimpulan lainnya, organisasi-organisasi Torchbearers itu biasanya memang pertama itu mereka putting costumer trust. Jadi costumer trust itu nomor satu. Jadi bagaimana caranya kita maintain customer trust. Mungkin kalau di dunia perbankan salah satu contohnya adalah memastikan tidak ada kebocoran data, memastikan bahwa data yang didapatkan dari kostumer yang sifatnya sensitif data itu diamankan seluruh aspek baik dari sisi operating model maupun dari sisi teknologi. Dan memastikan nasabah tahu bahwa datanya tidak disalahgunakan.***