BERITA TERKAIT
Bagaimana peran sektor keuangan terhadap mimpi Indonesia menjadi negara maju?
Untuk mencapai negara terbesar ketujuh di dunia dalam ekonomi, dengan PDB sekitar 4,1 triliun dolar AS dari posisi sekarang 900 miliar dolar AS, tentu butuh dukungan sektor keuangan yang kuat. Kita melakukan suatu modelling, diperoleh bahwa sektor keuangan itu harus tumbuh sampai 7 kali lipat dari posisi sekarang, total aset di sektor keuangan. Apakah itu bond, equity, atau asuransi.
Artinya, equity to GDP ratio naik 1,6 kali dari sekarang. Sekarang listed company hanya 540 perusahaan. Padahal Bank Indonesia mencatat terdapat sekitar 2.200 korporasi yang mempunyai utang luar negeri. Kalau sebuah perusahaan sudah mempunyai utang LN, sejatinya perusahaan itu sudah canggih, walaupun ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi seperti credit rating minimum BB-.
Tetapi paling tidak, Indonesia saat ini mempunyai sekitar 57 juta unit usaha. Tetapi yang masuk ke kategori korporasi itu hanya sekitar 5 ribu perusahaan. Sisanya, mikro, kecil dan menengah. Jadi sangat dangkal pasar kita dibanding Malaysua, Thailand, Singapura.
Kemudian, soal rasio corporate bond to GDP, juga tipis sekali, hanya 6 persen. Jadi bond kita memang kebanyakan adalah government bond.
Mengapa corporate bond minim diminati?
Saya pernah ketemu dengan beberapa calon investor asing, dan saya tanyakan mengapa tidak memilih corporate bond, jawabnya “karena tidak likuid, dan size-nya juga kecil-kecil. Nanti kalau saya mau exit malah susah nanti. Terus perusahaanya juga terbatas, jumlahnya gak banyak”. Di pasar saham kita, jumlahnya perusahaanya hanya 540, sementara yang namanya blue chip mungkin hanya 10 persen. Pada saat ekonomi bullish, mereka masuk ke pasar modal kita, dan yang dibeli (saham) itu-itu juga. Akhirnya dengan gampang, harga-harga saham akan naik. Sehingga gampang sekali terjadi bubble di pasar saham kita.
Jadi kalau kita bandingkan harga di bank-bank besar kita seperti BRI, Mandiri, bandingkan dengan bank-bank di luar, itu sudah sangat tinggi sekali. Bahkan BCA itu harganya sudah 4-5 kali. Normal hanya 2 kali. Kenapa ada yang sampai 4 kali? Karena investor suka dengan bank-bank bersangkutan. Dan mereka melihat, kalau ekonominya maju, banknya pasti ikut maju.
Tetapi akhirnya terjadi bubble. Puncaknya, kemarin ketika ada laporan keuangan emiten first kuartal itu keluar, investor asing yang tadinya begitu confident, menarik diri. Dia tahu bahwa ekonomi kita akan melambat, tetapi dia tidak membayangkan bahwa perusahaan-perusahaan kita yang biasanya walau ekonomi turun dia tetap bertahan, tiba-tiba mengalami penurunan kinerja yang sangat dalam.
Kenapa bisa begitu?
Penyebabnya salah satunya bisa karena currency kita yang meningkat (terdepresiasi –red), atau juga karena demand-nya yang tidak ada. Nah, ini yang menyebabkan investor keluar, kendati angkanya kecil. Contoh di awal Mei lalu, ketika market saham kita terkoreksi, capital outflow itu sekitar Rp10 triliiun. Bayangkan, baru Rp10 triliun, itu membuat market begitu panik. Currency kita langsung merosot hingga 13.080 per dolar AS, dan indeks kita turun, menembus lagi di bawah 5.000. Itu baru Rp10 trilun yang keluar, dan kalau kita bicara market kapitalisasi kita yang sekitar Rp500 triliun. Jadi ini karena market kita tipis dan domestik investor kita belum kuat. Ini jadi perhatian dan PR kita semua ke depan.
Bagaimana dengan loan to GDP dari perbankan?
Kita juga harapkan loan to GDP terus meningkat. Saat ini sampai 34 persen secara total, tetapi kita lihat yang angka 29 persen, yakni kita melihat dari sisi korporasinya saja. Kita keluarkan consumer good, karena kita bicara kebutuhan financing untuk korproasi.
Memang kondisi permodalan bank kita masih kuat, sekitar 21 persen. Tetapi kalau bank mau ekspansi, dengan loan to GDP sekitar 38 persen saat ini, kalau kita mau kejar hingga 58 persen, berarti butuh modal yang lebih besar. Apakah untuk penguatan modal akan di-injeksi sama owner-nya? Tidak mungkin. Seperti BRI, Mandiri, BNI, ketika dia mau ekspansi, apakah pemerintah terus-terusan menyuntik modal? Yang ada, keinginan dapat suntikan modal baru, selalu kandas di Senayan.
Lantas untuk tambahan modal itu, bank dapat dari mana?
Sudah tentu dari pasar uang atau pasar saham. Apakah bank atau perusahaan itu akan melakukan right issue atau menerbitkan obligasi. Itu semua berkaitan dengan pasar modal. Nah, ini ada kaitannya. Yakni bahwa kalau kita menginginkan perbankan yang kuat, dengan modal yang kuat, kita juga harus mempunyai pasar modal yang kuat.
Sebenarnya, kalau pertumbuhan emiten kita di pasar modal stabil dengan penambahan setiap tahun sekitar 20 hingga 30 emiten baru, itu sudah bagus. Kemudian domestik investor juga bertambah sekitar 20 persen, itu juga sudah bagus.
Apakah pasar modal kita sudah bisa dikatakan kuat?
Kalau pertumbuhan pasar modal kita seperti saat ini, kita akan kehilangan potensi ekonomi yang harusnya bisa tumbuh mencapai Rp4,1 triliun di 2030, kita malah kehilangan opportunity hingga Rp600 miliar. Itu kalau dalam model perhitungan kami. Jadi intinya, kalau sektor keuangan kita tidak kuat, kita tidak akan mencapai level potensial yang kita inginkan. Jadi, seharusnya kita bisa di nomor 7 untuk kekuatan ekonominya, terpental ke nomor 11.
Memang hampir di semua pasar posisi kita paling rendah. Apakah di stock market capitalization, apakah di bond market to GDP, apakah itu di interbank lending to GDP, corporate bond to GDP. Bayangkan, kita bicara time series, dari 2005 hingga sekarang, pasar kita flat saja kondisinya, tidak ada suatu improvement yang drastis. Kita lihat Malaysia itu mengalami perubahan yang sangat drastis sekali, atau negara lain, stoke market mereka itu rata-rata pick up setelah krisis global 2008. Kita stagnan.
Kita mencoba menghitung ada berapa artikel tentang pendalaman sektor keuangan di Indonesia untuk menunjukan awareness dari para pelaku, regulator, mengenai financial deepening. Ternyata cukup aware. Apalagi sejak krisis 2008, pembicaraan mengenai financial deepening itu sangat banyak. Namun realisasinya, tidak signifikan. Sebut saja yang namanya stock market capitalization tetap saja di 50 persen dari GDP. Loan to GDP juga masih di kisaran 30 persen. Padahal negara lain bisa di atas itu.
Bagaimana memperkuat sektor perbankan?
Kalau kita menginginkan sektor perbankan atau pasar modal yang kuat, tentunya semuanya harus tumbuh bersama-sama. Karena sekarang, misalnya ada investor yang mau masuk, dia bawa dollar AS, tentu dia butuh hedging untuk sebuah kepastian. Tetapi kalau hedging market kita tidak berkembang dari yang sekarang hanya 5 miliar dollar AS per hari itu, ya investor nanti ga jadi masuk. Makanya kita sangat apresiasi langkah Bank Indonesia yang terus mendorong korporasi untuk hedging, yang telah dimulai oleh beberapa BUMN besar seperti Garuda, Pertamina dan PLN. Ini bagus karena mereka ini pembeli dolar terbesar.
Saat ini memang performing sektor perbankan terus melambat. Kalau di Februari itu pertumbuhan kredit sekitar 12 persen, trennya sampai April 2015 juga masih turun sampai 10 persen. Jadi bagaimana kita mau mengharapkan ekonomi kita untuk growing kalau kreditnya masih 10 persen. Kenapa? Karena bank global juga hati-hati karena risikonya naik ke depan.
Aset memang naik karena ada revaluasi, dampak dari kenaikan rupiah. Karena bank ada aset dalam dollar AS.
Untungnya sejak krisis moneter, bank sentral mengeluarkan aturan yang ketat terhadap bank, terutama untuk pinjaman LN. jadi bank tidak jor-joran, kendati bunga dolar murah, likuiditas global tinggi, tetap saja rasio pinjaman valas terhadap total kredit itu relatif stabil di 20 persen. Bayangkan kalau tidak aturan itu, pasti banyak bank yang ambil dolar. Karena dia hanya diberi bunga 0,7 persen, ketika masuk di sini, dia konversi ke rupiah dan salurkan sebagai pinjaman dengan bunga 10 persen. Bayangkan berapa keuntungannya. Syukurlah bahwa perbankan kita sudah sangat dalam dengan manajemen risikonya. Sangat hati-hati.
Selama ini, pertumbuhan kredit dibagi dengan dana, itu jauh sekali. Dananya di bawah banget, tidak heran kalau LDR itu terus mengalami peningkatan sampai di atas 90 persen. Belakangan setelah ekonomi susah, bank rem kredit, akhirnya dana naik tinggi. Kenapa? Orang ragu untuk investasi dan konsumsi saat ketidakpastian. Akhirnya orang menaruh uang di bank. Ini saya kira masih berlanjut. Sementara bank mau salurkan kredit juga hati-hati. Sehingga saat ini likuiditas bank relative aman. Karena dari satu sumber dana DPK, jauh lebih tinggi tumbuhnya daripada kredit.
Lalu akan kemana fokus bank?
Ke NPL. Saat ini NPL bank sebesar 2,4 persen. Waktu ada global krisis 2008, NPL kita 3,4 persen dan turun terus 3,3 persen. Tetapi bandingkan dengan periode krisis 1998, itu NPL mencapai level 50 persen, di 2003 sempat 16 persen. Artinya, daya tahan kita sudah relatif kuat. Memang waktu itu domestik market kita masih kuat yang didukung booming harga komoditi. Tetapi hal itu tidak terjadi saat ini. Jadi regulator harus lincah.
NPL ini sangat terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Kalau pertumbuhan melambat, NPL akan naik. Karena daya beli berkurang, kinerja perusahaan berkurang, sehingga kemampuan perusahaan bayar utang di bank berkurang. Sekarang mungkin bank-bank lagi sibuk bagaimana mengatasi resktrukturisasi agar NPL tidak naik signifikan. Kendati masih di bawah 3 persen, perlu kebijakan prudent supaya tidak membahayakan.
Satu hal yang jadi concern pelaku usaha, pada dasarnya mereka tidak heran dengan pertumbuhan yang melambat. Tetapi mereka harapkan adalah koordinasi dan konsistensi antara regulator moneter dengan pemerintah. Pemerintah sekarang seperti panik saja. Kebijakan fiscal tightening karena tidak ada spending. Sementara regulator moneter malah terus dorong ayo apa lagi yang harus beri stimulus. KPR sudah direlaksasi, aturan transaksi juga direlaksasi. Jadi perlu outlook yang sama kita harapkan
Berapa sih kelebihan dana asalnya DPK?
Kredit memang mengalami perlambatan. Memang kredit valas di 2010 itu bisa sampai 50 persen karena likuiditas banyak. Itu didominasi bank asing dan joint venture setelah adjustment currency. Kalau sekarang, tanpa adjustment valas, kredit kita tumbuh 15,7 persen. Kalau di-adjustment dengan dolar, pertumbuhannya 8,2 persen. Penurunan kredit ini membuat LDR juga turun ke 89,3 persen di Februari.
Yang menarik, saya melihat likuiditas DPK dikurangi kredit dan dikurangi GWM semua bank itu signifikan dan konsisten, kecuali bank joint venture LDR di atas 100 persen. Ini bukan karena dia kesulitan dana. Karena dia ada sumber dana yang sifatnya pinjaman, bond, dll. Bukan hanya DPK seperti bank dalam negeri.
Bagaimana kondisi likuditas bank?
Saya juga melihat kondisi likuditas bank dari placement bank ke instrumen bank sentral seperti SBI, swap, dll. Kalau bank punya likuiditas banyak, pasti akan nempatkan dana di BI kalau ga salurkan kredit atau ke interbank. Di sisi lain, BI juga menyuntikkan dana ke sistem melalui forex swap. Di mana bank yang kelebihan dollar AS tetapi butuh rupiah, jadi dia taruh dollar di BI, dan BI memberikan rupiah. Jadi ada dua metode. Ketika kelebihan rupiah dia beli SBI, kalau kelebihan dollar, bank swap ke BI. Kalau ini dijumlahkan kita akan mengetahui berapa dana bank di BI. Saat ini mengalami penurunan. Ini juga bisa melihat kondisi likuiditas perbankan seperti apa.